Lihat ke Halaman Asli

Tjhen Tha

Speed, smart and smile

Kebijakan Panik SPBU non-Premium

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Panic Policy vs Persian Policy"

Keheningan rehat sore ku di rest area km 61 tol Cikampek hari ini dikejutkan oleh riuh rendah suara demostran (karyawan dan pengelola rest area) yang baru pulang dari Jakarta. "Demo apa pak?" kataku penasaran. "Penolakan kebijakan Rest-Area tanpa premium" jawabnya bersemangat. Terbersit kegembiraan diwajahnya karena aksi mereka diliput dan ditanyangkan di televisi serta tuntutan mereka sudah disampaikan kepada BPH Migas.

Seminggu sejak bergulirnya Kebijakan "Rest Area Tol" tanpa premium, praktis transaksi SPBU mereka menjadi sepi. Dampaknya terjadi kePANIKan pada pegawai dan pengelolaa SPBU yang kemudian berujung pada aksi demonstrasi ke Jakarta.

Kasus yang mirip terjadi di Jakarta Pusat, Kebijakan SPBU tanpa Solar, mengakibatkan terjadinya kePANIKan sopir2 angkutan umum seperti metro mini, kopaja dan beberapa mikrolet. Dinas Perhubungan terpaksa harus melakukan kenaikan tarif angkutan karenanya yang berakhir kepanikan masyarakat pengguna angkutan umum. Suatu Kebijakan yang tidak memihak kepada masyarakat pengguna angkutan umum dan malah memihak kepada pengguna mobil pribadi (pengguna premium), terutama karena mobil mewah di pusat kota bukanlah pengguna solar.

Keluarnya Kebijakan BBM (Bahan Bakar Minyak) Subsidi awal Agustus ini berawal dari berkurangnya sisa jatah subsidi BBM di APBN2014 dari 48juta kilo liter menjadi 46juta kilo liter. Akibatnya BPH Migas menelurkan "Panic Policy" terhadap ketersediaan dana APBN tersebut, namun sayangnya tampaknya kebijakan itu terkesan sepihak dan lebih bersifat reaktif ketimbang kebijakan yang disusun secara komprehensip dan terencana.

Padahal solusi utama penghapusan subsidi BBM sebenarnya sudah lama ada diatas meja dan cukup sederhana, hanya saja belum ada yang berani dan mampu menjalankannya karena ketatnya pertarungan kepentingan pihak-pihak dibalik subsidi BBM. Mafia Minyak adalah pihak yang diuntungkan dalam subsidi BBM tersebut melalui perannya dalam proses eksport/import minyak yang akan mendapat subsidi.

Adapun solusi yang sederhana yang akan dijalankan pemerintah tersebut adalah menggantikan BBM dengan BBG (Bahan Bakar Gas). Kita sudah pernah mendapatkan "success story" pada kasus kebijakan penghapusan subsidi minyak tanah dan dengan menggantikannya dengan tabung gas berbentuk buah melon seukuran 3 kg dan dapat berjalan dengan baik.

Secara perhitungan umum jika nilai subsidi BBM bagi transportasi mencapai Rp300T/thn dan ditambah subsidi listrik yang juga menggunakan BBM Rp100T/thn, maka margin keuntungan Mafia Minyak sekitar 10% sehingga perolehan mereka diperkirakan sekitar Rp30T s/d Rp40T pertahun.

Sebagai ilustrasi mengapa program ini dapat diterima masyarakat adalah sebagai berikut, pengguna kendaraan bermotor yang dipasang konverter kit, dapat menggunakan BBG (Rp5000/liter), jika ia inggin masih dapat merubahnya dengan BBM non-Subsidi (Rp10.000/liter) menyesuaikan dengan kondisi keuangannya. Layaknya seperti kehidupan kita keseharian, jika kita ingin mengirit bisa pergi makan di warteg dan adakalanya saat kita ingin makan di tempat yang nyaman kita pergi ke restoran yang mewah.
Headline berita hari ini diramaikan dagelan/ perseteruan Ahok (Wagub DKI) dengan Direktur PGN. Direktur PGN mengharapkan agar kendaraan operasional DKI menggunakan BBG dengan alasan agar supply gas yang diberikan dapat terserap, akan tetapi Ahok menohok sang direktur secara telak bahwa supply BBG untuk Busway yang baru saja tidak dapat terpenuhi karena ketiadaan SPBG. Secara genit ia menambahkan mestinya Lexus sang direktur PGN tersebut juga menggunakan BBG untuk menambah pasar BBG.
Fenomena telur dan ayam antara pasar gas dan fasilitas infrastruktur gas menjadi "made-up" lingkaran setan. Karena dibalik itu ada kepentingan Pihak yang terhormat yang diperjuangkan. Bertahun2 kebijakan BBG dicanangkan tapi tetap saja infrastuktur SPBG tidak pernah dirampungkan. Peresmian SPBG merupakan momok yang menakutkan bagi para pejabat, acara itu seperti memasuki prosesi acara kematian/penguburan dengan dentangan lonceng dan penaburan bunga bagi mereka. Itulah makanya acara tersebut menjadi sangat langka dan selalu dihindari di negeri ini.
Sebagai perbandingan kebijakan energi/BBM, kita bisa mengambil contoh Negeri Persia/Iran dengan jumlah penduduk 50jt jiwa. Termasuk negara pengeksport minyak terbesar dengan kapasitas produksi mencapai 4jt barel/hari, sementara itu konsumsi dalam negerinya tidak mencapai 1jt barel/hari. Di Iran lebih dari 2jt kendaraan bermotor telah menggunakan BBG menjadikannya sebagai negara terbesar pengguna BBG. Saat ini mereka sedang uji coba kenderaan roda dua menggunakan BBG, akan tetapi masih kesulitan dalam penempatan tabung BBGnya. Penerangan jalan yang terang benderang disupply dari listrik tenaga nuklir, bahkan mereka mengeksport kelebihan tenaga listriknya ke beberapa negara tetangga.

Penting dicermati kebijakan Iran yang mengunakan BBG yang relatif murah dan bersih untuk kebutuhan dalam negerinya dan mengeksport BBM untuk menghasilkan devisa sebesarnya bagi negara. Hal kebalikannya dengan kita, produk gas dijual keluar negeri dengan harga relatif murah dan BBM digunakan dalam negeri dalam bentuk subsidi.

Setidaknya kita juga sempat merasakan manfaat teknologi listrik Iran, ketika mereka membantu overhaull PLTU Belawan, mereka berhasil meningkatkan kapasitasnya sehingga dapat kelebihan ekstra tenaga listrik 45MWatt yang berguna mengatasi "shorted" kebutuhan listrik di Sumut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline