Lihat ke Halaman Asli

HARDIANTO CANDRA

NIM 55521120007 Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo. M.Si.Ak

Manajemen Tata Kelola pada Pemotongan PPh: Paradoks antara Kepatuhan dan Penghindaran Pajak

Diperbarui: 14 Oktober 2023   02:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : insperity.com

Pajak merupakan instrumen fiskal yang sangat penting dalam mengelola keuangan pemerintah di Indonesia, seperti yang diatur dalam undang-undang. Definisi pajak sesuai dengan hukum pajak di Indonesia adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh individu, perusahaan, atau entitas hukum lainnya untuk membayar sejumlah uang kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (UU KUP No. 28 Tahun 2007). Pajak digunakan oleh pemerintah untuk membiayai berbagai program dan proyek pembangunan, termasuk penyediaan infrastruktur, layanan publik, dan berbagai sektor yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan Masyarakat.

Pentingnya pajak di Indonesia sangat besar. Pertama, pajak merupakan sumber utama pendapatan pemerintah, yang diperlukan untuk membiayai berbagai kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, pertahanan, dan pelayanan sosial. Tanpa pajak, pemerintah akan kesulitan untuk memenuhi kewajiban ini dan menjalankan fungsinya dengan baik.

Kedua, pajak juga berperan dalam mengatur ekonomi. Pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mengendalikan inflasi, meredistribusi pendapatan, dan mendorong investasi. Melalui pajak, pemerintah dapat memberikan insentif atau sanksi kepada berbagai sektor ekonomi, seperti memberikan keringanan pajak untuk industri tertentu atau mengenakan pajak atas barang-barang mewah. Hal ini dapat membentuk perilaku ekonomi masyarakat dan menciptakan keadilan sosial.

Selain itu, pajak juga berperan dalam membangun rasa kepatuhan warga negara terhadap hukum. Pajak adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua warga negara dan bisnis, dan pemungutan pajak yang efisien dan transparan dapat membantu memperkuat prinsip keadilan sosial dan rule of law. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk menjalankan sistem pajak yang adil dan efisien serta memberikan layanan yang baik kepada warga negara.

Di Indonesia sistem perpajakan yang dianut adalah self-assessment. Sistem self-assessment memberikan wajib pajak, baik individu maupun perusahaan, tanggung jawab untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak mereka sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Hal ini bertujuan untuk mendorong ketaatan pajak dan meminimalkan potensi penyalahgunaan. Wajib pajak diharapkan untuk memahami peraturan perpajakan, menghitung jumlah pajak yang harus mereka bayar, dan melaporkan pajak dengan tepat waktu. Dalam upaya mempermudah proses ini, pemerintah telah mengadopsi teknologi dan memberikan panduan perpajakan yang memadai.

Namun, penting juga untuk mencatat bahwa DJP (Direktorat Jenderal Pajak) tetap melakukan pemeriksaan dan audit pajak guna memastikan kepatuhan wajib pajak. Pemeriksaan ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk meminimalkan potensi penyimpangan dan memastikan bahwa sistem perpajakan berjalan secara adil dan transparan. Dengan demikian, pajak dan sistem self-assessment adalah dua komponen yang saling terkait, di mana pemahaman yang baik tentang undang-undang perpajakan sangat penting untuk memastikan kepatuhan wajib pajak dan menjalankan sistem perpajakan yang efektif di Indonesia.

Selain sistem self-assessment, sistem tata kelola pemotongan pajak juga merupakan bagian penting dari sistem perpajakan di Indonesia. Dalam sistem ini, pihak ketiga, seperti perusahaan atau institusi keuangan, diberi tanggung jawab untuk melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas penghasilan yang mereka bayarkan kepada penerima penghasilan. Seperti yang terdapat pada undang undang bahwa wajib pajak adalah orang pribadi atau badan (Perusahaan maupun instansi), meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai ketentuan perundang-undangan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pajak tersebut dapat disetor langsung ke kas negara. Pada akhir tahun pajak, jumlah pajak yang telah dipotong atau dipungut dan disetor ke kas negara akan dihitung dan dapat dikreditkan kepada penerima penghasilan sebagai bagian dari kewajiban pajak mereka. Istilah "pemotongan" digunakan ketika pajak dipotong oleh pemberi penghasilan dari jumlah penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan, seperti yang terjadi dalam PPh Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23. Sementara istilah "pemungutan" merujuk pada jumlah pajak yang dipungut atas pembayaran yang berpotensi menghasilkan pendapatan bagi penerima bayaran, seperti dalam Pajak Penghasilan Pasal 22. Sistem ini merupakan cara yang efektif untuk memastikan pemungutan pajak yang efisien dan menyediakan sumber pendapatan yang diperlukan bagi negara.

Sistem pemotongan pajak memiliki kaitan yang erat dengan konsep self-assessment dan paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak. Self-assessment adalah konsep di mana wajib pajak memiliki tanggung jawab untuk menghitung dan melaporkan penghasilan mereka sendiri kepada otoritas pajak. Namun, dalam konteks pemotongan pajak, sebagian besar tanggung jawab ini dipindahkan ke pihak ketiga yang harus melakukan pemotongan atau pemungutan pajak. Lalu bagaimana self-assessment dan pemotongan pajak berinteraksi, sejauh mana paradoks antara kepatuhan dan penghindaran pajak memengaruhi sistem ini.

Pertama-tama, kita perlu memahami apa yang dimaksud dengan kepatuhan pajak dan penghindaran pajak. Kepatuhan pajak mengacu pada kewajiban warga negara atau perusahaan untuk membayar pajak sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pajak ini mencakup pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai (PPN), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan banyak lagi. Di sisi lain, penghindaran pajak adalah upaya yang sah untuk mengurangi kewajiban pajak tanpa melanggar hukum. Ini dapat mencakup penggunaan insentif pajak yang tersedia, investasi cerdas, dan perencanaan pajak yang tepat.

Konsep self-assessment dalam perpajakan mengimplikasikan bahwa wajib pajak memiliki kewajiban untuk secara jujur dan akurat melaporkan penghasilan mereka sendiri kepada otoritas pajak. Dalam sistem pemotongan pajak, sebagian tanggung jawab ini dialihkan kepada pihak ketiga, seperti perusahaan atau lembaga keuangan, yang melakukan pemotongan atau pemungutan pajak atas nama wajib pajak. Namun, dalam kasus self-assessment, pihak ketiga ini hanya bertindak sebagai agen pajak yang melakukan pemotongan sesuai dengan peraturan yang ada.

Salah satu paradoks yang muncul di sini adalah bagaimana self-assessment sejalan dengan sistem pemotongan pajak. Sebagian besar wajib pajak di Indonesia mengandalkan pemotongan pajak oleh pihak ketiga, dan mereka mungkin kurang cenderung untuk melakukan perhitungan pajak sendiri, terutama dalam kasus PPh Pasal 21 yang melibatkan penghasilan rutin seperti gaji. Dalam hal ini, self-assessment menjadi terbatas karena pihak ketiga sudah memotong pajak sebelum wajib pajak menerima penghasilannya. Namun, ada situasi lain di mana self-assessment masih relevan, seperti dalam Pajak Penghasilan Pasal 22, di mana pihak ketiga melakukan pemungutan pajak atas transaksi tertentu yang berpotensi menghasilkan pendapatan. Di sinilah wajib pajak harus memahami dan melaporkan dengan benar transaksi-transaksi yang dapat memengaruhi pajak yang harus mereka bayar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline