Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Pandangan Hidup Manusia Jawa

Diperbarui: 27 Desember 2020   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pandangan hidup bisa dipadankan dengan istilah filsafat. Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosphia yang bermakna cinta kearifan (the love of wisdom). Filsafat mempunyai sifat serupa dengan seni, ilmu pengetahuan, dan agama. Mengutip Ouspensky, Abdullah Ciptoprawiro (1986) menyebut filsafat, seni, ilmu pengetahuan dan agama sebagai four ways of seeking truth atau 'empat jalan mencari kebenaran'.

Ilmu pengetahuan mendasarkan diri atas observasi dan eksperimen yang mengarusutamakan pancaindera dan penalaran. Filsafat mendasarkan diri atas penalaran secara logika dengan sintesis hal-hal yang telah diketahui dan analisis hal-hal yang belum diketahui. 

Agama mendasarkan diri pada wahyu yang datang dari kekuatan atau kesadaran di luar jangkauan manusia. Adapun seni bertolak daripenghayan emosi (rasa) yng didorong oleh sebuah kekuatan kreativitas dalam penciptaan.

Melalui bukunya berjudul Philosophy, an Introductioan to the Art of Wondering (1973), James L. Christian mengemukakan rumusan filsafat sebagai usaha manusia untuk memperoleh pengertian dan pengetahuan tentang hidup menyeluruh dengan mempergunakan kodrat kemampuannya. Pengetahuan tentang hidup menyeluruh inilah yang dalam kebudayaan Jawa diistilahkan sebagai ngudi kasampurnan.

 Ngudi kasampurnan atau filsafat Jawa bertolak pada tiga landasan yaitu Ketuhanan, Kesadaran akan semesta, dan keberadaan (eksistensi) manusia (Hardjowirogo, 1984). 

Tuhan merupakan pencipta dan tempat muasal manusia sekaligus tempat manusia kembali, yang diistilahkan dengan sangkan paraning dumadi. Sedangkan semesta adalah alam (jagat gumelar) yang merupakan manifestasi atau pengejawantahan kuasa Tuhan. Alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan atau satu harmoni yang disebut sebagai kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.

Filsafat Jawa memiliki perbedaan pokok dengan filsafat Barat (yang bersumber pada filsafat Yunani). Perbedaan pokok itu, yang pertama, filsafat Jawa selalu berpusat pada landasan ketuhanan sehingga tidak mungkin ajaran filsafat Jawa bisa melahirkan sikap atheis. 

Kedua, filsafat Jawa tidak pernah melepaskan keberadaan manusia dengan semesta. Harmonisasi manusia dan semesta menjadi salah satu pandangan penting yang mengisyaratkan keberadaan manusia tak bisa dilepaskan dari semesta. 

Yang ketiga, filsafat Jawa tidak berangkat dari pertanyaan 'apa yang dicari dan dipertanyakan' seperti pada filsafat Yunani, melainkan bermula dari pertanyaan 'dari mana dan ke mana' semua wujud, yang diungkapkan dengan istilah sangkan paraning dumadi.

Filsafat Jawa memiliki tiga ruang lingkup yaitu metafisika, epistomologi, dan axiology (Mulder, 2011). Metafisika merincikan penggambaran Tuhan, Manusia dan Alam Semesta.

Tuhan dalam pandangan filsafat Jawa adalah imanen-transeden, sesuatu yang tak bisa dibayangkan seperti apapun tapi dekat tiada bersentuhan sekaligus jauh tiada perbatasan ( diungkapkan dengan indah: dat kang tan kinayangapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline