Fakta sejarah telah mencatat bahwa Nusantara terbentuk dari wilayah bahari yang terdiri dari ribuan pulau. Jauh sebelum Sriwijaya tercatat sebagai imperium besar di abad ke-7, telah terjalin hubungan yang luas antarpulau baik di bidang perdagangan, politik, maupun kebudayaan.
Pada masa itulah bangsa Nusantara telah berhubungan dengan bangsa-bangsa di kawasan lain di Asia Timur, Asia Pasifik, Asia Selatan, Timur Tengah bahkan Afrika, yang akhirnya mebentuk pertukaran budaya, perdagangan dan religi.
Keagungan bahari Nusantara juga tak bisa dipisahkan dari perdagangan rempah-rempah. Peran rempah-rempah sangat penting dalam proses formasi dan transformasi peta kekuatan maritime di kepulauan Nusantara, walaupun di samping itu ada juga peran fakor yang lain seperti perubahan ideologi, persepsi, ekspetasi dan daya pukau terhadap rempah-rempah itu sendiri.
Rempah-rempah jauh sebelum Sriwijaya tumbuh telah menjadi 'kebutuhan dunia'. Di zaman Mesir Kuno dipakai sebagai bahan pengawet jasad Firaun, di masyarakat Yunani Kuno dipakai sebagai salah satu bagian umbarampe spiritual pada upacara penyembahan dewa.
Hal yang sama juga dilakukan oleh bangsa Romawi sebelum pengaruh Nasrani. Selain itu rempah-rempah digunakan sebagai obat-obatan oleh banyak bangsa di Asia. Pesona rempah-rempah inilah yang menggundang asal muasal terjadinya imperialisme dan kolonialisme.
Sebagai bangsa bahari, Indonesia memiliki ingataan-ingatan arkaik mengenai perjalanan-perjalanan panjang mengarungi samudera yangn-ingatan arkaik mengenai perjalanan-perjalanan panjang mengarungi samudera yang ganas. Ingatan-ingatan itu mewujud dalam berbagai archetype budaya.
Dalam ritus-ritus kematian, perahu sering dijadikan metafora kendaraan suci menuju dunia gaib agar tak tersesat sampai tujuan. Mantra-mantra Marapu di pulau Sumba merupakan nyanyian-nyanyian yang berisikan perjalanan panjang yang ditempuh nenek moyangnya.
Kejayaan Sriwijaya, Majapahit dan Demak semakin menguatkan posisi kebaharian Nusantara. Mereka mampu menjadi kekuasaan maritime yang mengontrol perniagaan di Asia Tenggara. Ekspedisi-ekspedisi maritim Sriwijaya kerap diberi nama sebuah perjalanan suci, semisal Jayasidhayatra.
Demikian juga Majapahit, walau berbasis pada budi daya agraris, namun memiliki kekuatan maritime yang mendebarkan. Majapahit membangun pelabuhan-pelabuhan yang terhubung dengan jalur-jalur sungai yang menjadi pilar kekuatan armada laut Majapahit. Tercatatlah dalam sejarah sosok Mpu Nala, sang laksmana perang dengan semboyan Jalesveva Jayamahe.
Air dan sungai menjadi smbol penting bagi spiritualitas Majapahit. Hal ini bisa diketahui dari temuan-temuan patirtaan, blumbang-blumbang yang disucikan yang dipandang mengalirkan amerta atau air suci.
Jaladwara (pancuran) berwujud mulut-mulut taksaka dan makara serta segaran kolam suci yang panjang yang tak pernah kering hingga kini adalah simbol lautan yang mengelilingi Jawadwipa. Konsep-konsep mitreka satata dan jalesveva jayamahe jelas-jelas merupakan konsep dan strategi politik yang berbasis kelautan.