Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Jalan Puisi

Diperbarui: 1 Oktober 2020   11:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada sidang ke-30 UNESCO yang diselenggarakan di Paris, di tahun 1999 telah menyepakati bahwa 21 Maret ditetapkan sebagai Hari Puisi Dunia. Di Indonesia sendiri, ditetapkanlah "Hari Puisi Indonesia" pada tanggal 26 Juli sebagai bentuk penghormatan kepada pelopor puisi Indonesia modern, Chairil Anwar, yang lahir pada tanggal itu. Walaupun peringatan itu jatuh pada bulan Juli namun puncak acara dilakukan pada bulan Oktober sebagai penghikmatan spirit Sumpah Pemuda.

Puisi tak pernah mati. Puisi selalu abadi seperti halnya politik dan kekuasaan. Puisi bahkan dianggap sebagai antitesis dari politik dan kekuasaan. Ungkapan bijak: "Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya! Jika politik kotor, puisi akan membersihkannya!"

Ungkapan tersebut menyiratkan puisi memiliki daya suci, ada suara Tuhan, ada suara kebenaran dan malaikat penjaga di sana. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa puisi adalah parajanana, penjaga kebenaran, penjaga kemanusiaan.

Puisi bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kemanusiaan. Namun sayang sekali, kita acapkali tidak mendudukkan dan memosisikan puisi dan penyairnya pada tempat yang sepatutnya, acap kali mengabaikan perannya dalam tatanan kehidupan. Puisi hanya dipandang sebagai tempat curhat belaka, luapan emosi yang cengeng atau paling-paling sebagai teriakan-teriakan protes yang bawel dan mengganggu kemapanan.

Puisi memiliki peranan penting terhadap perwujudan Indonesia, dimulai sejak puisi mengangankan dan membayangkan bagaimana rupa tanah air. Persis seperti kata Benedicht Enderson yang mengatakan bahwa nasionalisme adalah komunitas imajiner, maka para penyair Indonesia pun jauh sebelum Indonesia memiliki de fakto dan de jure sebagai sebuah negara, mereka telah mengangankan dan membayangkan bagaimana rupa tanah air mereka.

Puisi-puisi Moh Yamin: Indonesia Tumpah Darahku, Tanah Airku, Bahasa Bangsa, juga puisi-puisi Rustam Effendi, Soekarno, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan sebagainya, jelas-jelas membayangkan dan mengimajinasikan bagaimana identitas kebangsaan yang lantas diberi nama Indonesia. Pun dalam perjalanan historisnya, puisi-puisi Indonesia telah mencatat dan merekam secara baik perlawanan terhadap kolonialisme, sejak pra kemerdekaan seperti Hikayat Perang Sabil, Serat Diponegoro, Serat Mangkubumi hingga saat mempertahankan kemerdekaan seperti bisa dilihat dalam sajak-sajak Rendra, Toto Sudarto Bachtiar, Chairil Anwar, dan masih banyak lagi.

Tak berhenti di sini, acapkali puisi menjadi corong pengingat saat kekuasaan melenceng dari amanatnya seperti terekspresi dalam sajak-sajak angkatan 66 dan angkatan reformasi.

Selain itu tak bisa bisa dipungkiri bahwa puisi mampu merajut, membangun dan meneguhkan heterogenitas kebudayaan Indonesia. Melalui puisilah bila dijalin pengenalan, pemahaman atas keberagaman etnik yang menjadi karakteristik identitas Indonsia.

Puisi bisa menjadi miniatur keberagaman budaya Indonesia. Dari metofora-metafora, diksi-diksi yang ada dalam puisi dapat disajikan berbagai keberagaman etnik tersebut yang pada gilirannya memunculkan metaforis Indonesia. Melalu para penyair yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara kita bisa mengenal berbagai ragam kebudayaan Indonesia.

Untuk menyebut beberapa nama sebagai contoh: bacalah puisi-puisi Umbu Landu Parunggi yang kental dengan citra Sumba, puisi-puisi Frans Nadjira, Oka Rusmini, Mira Antigone, Warih Wisatsana yang bernafaskan kehidupan Bali, puisi-puisi Akhudiat, Mashuri, Aziz Mana, yang kental dengan corak Jawa Timur, Tan Lio Ie dan Sunlie yang bercitra etnis Cina, Mardiluhung, Zawawi yang kental citra pesisiran, Hasna Aspanani, Fahrunas Jabar yang mewarisi tradisi Riau, Iyut Fitra, Syaifuddin Ganni, Anwar Putra Bayu yang memantulkan citra Sumatera, dan masih banyak lagi yang apabila kita baca akan melahirkan kesadaran bahwa kita memang heterogen.

Tak dapat disangkal  bahwa puisi dapat menumbuhsuburkan nilai-nilai kemanusiaan, kebangsaan dan persatuan Indonesia. Sekali lagi, puisi adalah parajanana atau penjaga kemanusiaan, penjaga kebenaran. Melalui metafora-metafora puisi bisa dibangun nilai-nilai rasa kemanusiaan., moralitas dan karakter bangsa. Spirit perayaan hari puisi tidak lain adalah menjadikan puisi sebagai salah satu bagian yang tak terpisahkan dari usaha membangun nilai-nilai moral karakter bangsa sekaligus meneguhkan keanekaragaman dalam kesatuan Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline