Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Relasi Bahasa dan Kekuasaan

Diperbarui: 26 September 2020   19:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa dan kekuasaan memiliki relasi dan keterkaitan yang erat dan unik. Melalui bahasalah dominasi kekuasaan dapat dipraktikkan. 

Perbedaan posisi seorang penutur bahasa dalam sebuah hierarki sosial dapat dilihat melalui penggunaan aksen, intonasi, kalimat dan kosa kata yang digunakan. Kekuatan dan pengaruh penggunaan bahasa dan kata-kata sangat bergantung pada siapa yang melakukan tindak bahasa tersebut dan bagaimana bahasa tersebut diucapkan. 

Otoritas yang mengucapkan bahasa akan memberikan efek yang berbeda kepada penerima. Sebuah rezim yang otoriter dapat menggunakan bahasa tak hanya sekedar melanggengkan kekuasaannya saja, namun juga bisa menggunakan bahasa untuk memproduksi sistem simbol dalam kaitannya dengan posisi kekuasaannya. Sistem simbol yang diproduksi tersebut berperan sebagai control, penguasaan bahkan kekerasan yang dilakukan secara samar, halus dan simbolik.

Produksi sistem simbol untuk mengontrol kekuasaan, melanggengkan kekuasaan, bahkan untuk melakukan kekerasan dapat dilihat sejak zaman lampau. Produksi sistem bahasa secara sistematis sudah dilakukan raja-raja Mataram semenjak Panembahan Senapati dan terutama pada zaman Sultan Agung. 

Konslidasi kekuasaan dilakukan melalui penulisan babad dan pelembagaan  tingkatan-tingkatan bahasa Jawa yang dikenal sebagai unggah-ungguhing basa. Sistem simbol tersebut dibangun untuk menciptakan jarak sosial yang jelas antara mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai (Moedjanto, 1993).

Sosiolinguistik telah menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang menggunakan dua bahasa atau lebih, terdapat dua ragam bahasa, yaitu pertama, ragam tinggi (high variety), yaitu bahasa yang lebih dihargai, terpelajar dan lebih dihormati bahkan oleh mereka yang tidak mengerti ragam ini; kedua, ragam rendah (low variety), yaitu ragam bahasa yang dianggap lebih rendah, kasar dan cenderung tidak diakui. 

Ragam tinggi dipelajari di bangku-bangku sekolah dan memiliki fungsi resmi di ruang public, sementara ragam rendah pada umumnya dipelajari dalam keluarga dan digunakan dalam suasana tak resmi di wilayah pribadi. Karena digunakan dalam wilayah public yang formal, bahasa ragam tinggi dianggap sebagai prasyarat yang musti dikuasai siapapun yang hendak turut serta di dalamnya. Akibatnya dengan mudah dapat diterka bahwa mereka yang menguasai ragam bahasa tinggi akan lebih mampu mendominasi wilayah public.

Relasi antara bahasa dan kekuasaan jauh lebih luas ketika kekuasaan tidak hanya dimaknai sebagai kuasa negara atau kekuasaan politik semata. Kekuasaan bisa dimaknai sebagai dominasi. 

Dalam keterkaitan antara bahasa dan dominasi inilah, Pierre Bourdieu melihat bahasa tak sekedar alat komunikasi, namun sebagai instrument tindakan dan kekuasaan. Komunikasi merupakan pertukaran bahasa yang berlangsung sebagai hubungan kekuasaan simbolis terwujudnya hubungan kekuatan antara pembicara dan mitra bicara dalam suatu komunitas. 

Hubungan social adalah hubungan dominasi yang ditandai oleh interaksi simbolis yang mengimplikasikan pengetahuan dan kekuasaan. Dengan kata lain, hubungan komunikasi adalah pertukaran bahasa sebagai hubungan kekuatan simbolis.

Relasi bahasa dan kekuasaan sebagai hubungan kekuatan simbolis yang membentuk realitas inilah disebut Bourdieu sebagai kuasa simbolik. Bahasa adalah salah satu dari bentuk-bentuk simbolik yang khas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline