Bagi seorang penyair, menerbitkan buku kumpulan (antologi) puisi tunggal adalah sebuah cita-cita yang menandai kepenyairanya. Mungkin bisa disejajarkan dengan peristiwa pameran tunggal bagi seorang pelukis. Kehadiran sebuah buku antologi puisi tunggal, tak sekedar mengukuhkan seorang penulis puisi di jagat kepenyairannya, namun lebih dari itu, kehadiran sebuah antologi juga sebagai sebuah titian penting untuk mendedahkan bias-bias pemikiran dan estetika puisinya dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, sebuah antologi bisa menjadi penanda pencapaian estetika dan seberapa jauh kembara intelektual penyairnya.
Antologi puisi tak sekedar berhenti jadi alat dokumentasi belaka. Kehadirannya menjadi bagian dari proses kreatif yang dilandasi kesadaran bahwa menulis puisi tidak sekedar merayakan kata-kata atau pamer akrobatik teknik semata, namun juga sebuah upaya sadar untuk menawarkan gagasan atau pengalaman (secuil apapun) kepada khalayak pecinta puisi.
Puisi dan kehidupan adalah sebuah teks yang saling berkelindan. Puisi berhutang pada kehidupan, dan kehidupan berhutang pada puisi. Puisi adalah ikan, sedangkan kolam adalah kehidupan. Keduanya saling selingkuh saling bergantung. Saat penyair menulis puisi, ia tak hanya menafsir kehidupan untuk dirinya sendiri, namun juga untuk pembacanya.
Pembaca yang membaca puisi itu akan menafsir ulang kehidupan yang sudah mewujud dalam puisi tersebut. Maka, jadilah: sebuah tafsir yang berulang atas sebuah kehidupan. Sebuah dialektika yang terus menerus antara penyair-kehidupan-puisi-pembaca, mata rantai yang berputar terus menerus.
Penyair memanggul dua tugas yang abadi kepada pembacanya: menawarkan tafsir kehidupan sekaligus menawarkan sebuah estetika! Maka muncullah resiko logis dalam diri penyair. Ibaratnya, penyair menjejakkan kakinya pada dua alas yang berbeda, sebelah kakinya berjejak di karang yang tajam, sebelah yang lain berjejak di batu penuh lumut yang licin.
Dua alas berpijak ini membuat seorang penyair berada dalam situasi tarik menarik, ketegangan antara ruang komunikasi dan ruang estetika. Di satu sisi, tuntutan ruang komunikasi menarik penyair untuk menyampaikan sejelas-jelasnya, seterang-terangnya hasil tafsirnya; pengalamannya atas kehidupan yang telah mewujud dalam teks puisi kepada khalayak pembacanya.
Sebelah sisi yang lain, tuntutan ruang estetika, membetot penyair untuk mencari metafora-metofora, style, diksi, simbol, dan tetek bengek nuansa artistik yang kadang mengaburkan bahkan melenyapkan ruang komunikasi. Situasi ketegangan inilah yang sangat menantang bahkan melelahkan dalam kerja kepenyairan.
Estetika bukanlah sebuah kitab suci yang mutllak dihikmati, pun demikian dengan komunikasi! Oleh sebab itulah pergeseran bahkan perubahan estetika dalam proses syair-menyair adalah sesuatu yang lumrah.
Seorang penyair suatu saat bisa tampil dengan sangat realis, bahkan sebagai pemberontak dan pemberang, di saat yang lain bisa muncul dalam sosok yang surealis, misterius atau sarat simbolik.
Di ketika lain bisa berubah jadi brahmana yang sangat sufistik. Itu sesuatu yang wajar, seperti jamaknya kehidupan yang selalu berubah-ubah dan bergulir ke mana-mana. Pada situasi yang semacam itulah, puisi selalu menyisakan satu ceruk kosong sebagai ruang bagi penyair dan pembacanya untuk saling bertemu, menyoal, bertegur sapa, berdialog, menafsir, bahkan bersumpah serapah, baik tentang pesan maupun estetika dalam tubuh puisi itu sendiri.****