Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Antara Feminisme dan Genderisme

Diperbarui: 20 September 2020   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gerakan kaum perempuan yang diawali dengan gerakan emansipasi kemudian berayun menuju feminis lantas bermuara pada kesetaraan gender sesungguhnya adalah gerakan transformasi dan bukan gerakan balas dendam kaum perempuan kepada kaum laki-laki. Hal itu berarti gerakan perempuan harus dimaknai sebagai proses gerakan untuk menciptakan hubungan yang setara yang lebih humanistis dan lebih baik. Hubungan kesetaraan ini bisa meliputi ranah ekonomi, politik, sosial, kultural, pendidikan dan lingkungan.

Pada awalnya feminisme sebagai kelanjutan dari emansipasi tidak dapat melepaskan diri dari konteks politik. Keterikatan feminisme dengan politik memang menunjukkan ciri feminisme sebagai gerakan bertabiat politis karena memang sejak kemunculannya didasarkan pada gugatannya atas struktur interaksi kekuasaan yang memarjinalkan kaum perempuan. Gugatan atas struktur interaksi kekuasaan inilah yang menunjukkan martabat politik feminisme. 

Semua aliran-aliran feminisme selalu menggugat dan mempertanyakan dengan tajam hubungan hegomoni, dominasi dan subordinasi laki-laki dan perempuan. Feminisme pun tumbuh sebagai sebuah gerakan sekaligus pendekatan yang berupaya mengubah struktuk yang ada karena dianggap sebagai biang keladi atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan.

Sejalan dengan perkembangan zaman, gerakan feminisme pun berkembang sehingga lahir aliran-aliran dalam feminisme. Setidaknya, oleh Dr. Riant Nugroho (2011), dikategorikan atas sebelas aliran feminisme, yaitu (1) feminisme liberal, (2) feminisme radikal, (3) feminisme radikal libertarian, (4) feminisme radikal kultural, (5) feminisme marxis sosialis, (6) feminisme psionalisis, (7) feminisme eksistensialis, (8) feminisme postmordenisme, (9) feminisme multikultural dan global, (10) feminisme kulit hitam (black feminism) dan (11) feminisme Islam. 

Feminisme liberal berkembang di Barat pada abad ke-18 dengan dasar asumsi  dari John Locke yaitu natural rights (hak asasi manusia). Dalam masa itu ada anggapan bahwa pemenuhan HAM hanya diperoleh oleh kaum pria. Perempuan dianggap kurang daya rasionalitasnya sehingga tidak memiliki hak-hak sebagai warga negara. 

Feminisme liberal memberikan landasan teoritis akan kesamaan perempuan dalam potensi rasionalitas dengan kaum lelaki. Namun karena perempuan ditempatkan pada posisi ketergantungan pada laki-laki atau suami dan ditempatkan pada sektor domestik maka yang lebih dominan muncul pada diri perempuan adalah aspek emosional ketimbang rasionalitas. Lepasnya ketergantungan perempuan pada laki-laki dianggap sebagai pintu gerbang rasionalitas kaum perempuan. 

Seorang tokoh feminisme liberal yaitu John Stuart Mill dalam bukunya The Subjection of women (1869) mengritik dengan keras posisi perempuan dalam kerja sektor domestik sebagai sebuah pekerjaan yang irasional, emosional, dan tiranis. Teori feminisme liberal berkeyakinan bahwa selama ini perempuan tidak terwakili atau takdilibatkan dalam semua sektor kehidupan. 

Dalam bukunya Feminisme Thought-A More Comprehensive Introduction,  Rosemary Putnam Tong menekankan bahwa tindakan subordinasi terhadap kaum perempuan terjadi karena ada suatu perangkat budaya dan hukum yang membatasi akses perempuan dalam sektor publik. 

Demikian kuatnya kritik kaum feminis liberal terhadap dominasi perempuan sehingga dianggap sebagai feminisme keblabasen karena secara ekstrem menuntut penghapusan semua hukum yang berkaitan dengan lembaga perkawinan dan perceraian.  

Sebagai sebuah gerakan perempuan, feminisme liberal dianggap memiliki beberapa kelemahan. Yang pertama, feminisme liberal ini lahir dari kaum perempuan dan laki-laki feminis yang merupakan kelas menengah, berkulit putih, ekonomi dan kesejahteraannya lumayan. 

Kedua, acap kali melahirkan pemikiran-pemikiran yang opresif yang merupakan solusi tak tepat bagi perempuan-perempuan yang lemah dalam modal ekonomi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline