Saya dan sepakbola. Saya termasuk seorang dengan fanatisme yang meledak-ledak jika mendukung tim kesayangan. Tidak jarang saya merasa sedih sekali jika tim kesayangan mengalami kegagalan. Tentu saja kesedihan yang berbatas karena sepakbola adalah urusan menang, imbang, dan kalah. Ketiga 'nasib' ini adalah nyawa sekaligus nafas dari sepakbola sehingga pada hakikatnya saya menerima apapun hasil yang diperoleh. Terutama kalau menang....hihihi... Saya menyukai sepakbola sejak usia kanak-kanak. Lingkunganlah yang membuat saya menyukai olahraga ini, terlepas dari popularitas sepakbola yang konon kabarnya menjadi olahraga paling terkenal di dunia. Ya, boleh Anda katakan bahwa sepakbola itu konsumsi umum dan orang yang menyukai olahraga ini wajar dan biasa saja. Sepakbola memang olahraga rakyat. Ada dua golongan 'pengunjung' pertandingan sepakbola: pencinta sejati dan petaruh. Insya Alloh saya ikut dalam golongan pertama. Saya pernah bertaruh pertandingan sepakbola dengan hasil lebih sering kalah taruhan. Dari sini saya mengakui diri sebagai 'tidak berbakat dalam dunia perjudian bentuk apapun'. Fase sebagai 'petaruh' ini terjadi pada awal-awal saya 'melek sepakbola'. Setelah ditimbang dan dipikirkan, akhirnya saya berkesimpulan (dan berjanji) bahwa saya tidak akan lagi 'taruhan sepakbola'. Saya sangat mencintai olahraga ini meskipun sebatas penggemar, bukan terjun langsung sebagai pemain atau ofisial lainnya. Jika cinta, apapun dipertaruhkan, namun jangan lah cinta itu sendiri yang menjadi taruhannya. Hehe. I love football and I won't swap it with anything else. Pada akhirnya saya cenderung masuk ke dalam kelompok pencinta sepakbola, bukan petaruh sepakbola. Saya tidak paham apa itu 'voor' atau 'lek', atau apalah itu istilahnya. Cukup masa lalu saja sebagai pengalaman yang membimbing saya menuju sebuah pemahaman sebenarnya tentang sepakbola. Olahraga sepakbola adalah sebuah hiburan akhir pekan yang menyenangkan, menemani saya mengendurkan urat yang tegang sepekan penuh. Di sela-sela pertandingan saya menikmati minuman teh atau kopi, cemilan (dan AC Milan tentunya, haha!), bersama kawan-kawan sehobi-sepermainan, kadang juga sambil ngobrol dan dihiasi kepulan asap rokok membentuk lingkaran-lingkaran (halah, lebay...haha). Jika cinta, jangan berpaling; jika cinta, tetaplah tinggal di sini Saya bukan seorang politisi zaman sekarang yang dengan mudahnya pindah partai karena merasa tidak memiliki prospek positif pada partai sebelumnya. Ketika AC Milan, klub Eropa kebanggaan saya mengalami masa-masa sulit, saya tetap mendukung mereka. Paling menyakitkan ketika harus terlempar dari 10 besar Serie A plus dihajar 0-6 oleh Juventus....di San Siro lagi....huk, huk. Tapi saya telanjur cinta. Hanya dukungan setia yang dapat mengembalikan kejayaan, saya percaya itu. Ketika tim nasional Jerman terpuruk pada awal milenium kedua, saya merasa prihatin dan sedih sekali. Seakan-akan 'staying power' musnah ditelan masa. Terlebih lagi saat menyaksikan Die Nationalmannschaft dipermalukan 0-5 oleh Inggris di Munich menjelang Piala Dunia 2002. Sangat menyakitkan! Huh!! Saya sempat membenci ketidakberdayaan Der Panzer kala itu, namun akhirnya tetap mendukung mereka. Sekali lagi, kesetiaan adalah kunci kejayaan. Merah Putih tetap No. 1 Sepanjang hidup saya, hingga saya menulis catatan harian ini, saya tinggal di Indonesia. Obsesi saya adalah obsesi standar umumnya Kompasianers, yakni dapat memiliki kesempatan untuk melancong ke negara lain, seperti beberapa teman kompasianers di sini tentunya. Namun, ternyata kesempatan itu belum kunjung juga. Someday, I believe hehe. Pun ketika nanti saya benar-benar berada di luar negeri, sepakbola Indonesia tetap menghuni salah satu ruang dalam hati saya. Menyaksikan perjuangan tim nasional Indonesia adalah sebuah fenomena. Saya katakan 'fenomenal'! Seakan tidak peduli dengan saratnya masalah yang mengganggu perkembangan sepakbola tanah air, 'membela' tim nasional negara sendiri adalah suatu kebanggaan. Saya mulai intensif mengikuti perkembangan sepakbola nasional sejak era Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, Herry Kiswanto. Berarti telah berlangsung selama lebih/kurang seperempat abad ya? Umur saya sekarang 30an, sehingga praktis saya mengenal sepakbola Indonesia sejak kanak-kanak. Dari Kualifikasi Piala Dunia Meksiko 1986 sampai dengan Piala AFF 2010, fanatisme saya kepada Merah Putih tidak pernah pudar. Saya fanatik namun bukan seorang dengan 'bonek' (Jawa: 'bondo nekat' atau 'modal nekat'), tapi dengan perhitungan. Ya, semua ini tak lepas dari bimbingan para pendahulu tentang bagaimana menjadi suporter sepakbola yang baik, tidak menciderai sepakbola yang orang bilang merupakan 'the greatest show on Earth'. Dari Maldini hingga Kurniawan Seperti halnya pencinta sepakbola pada umumnya, mengidolakan pemain adalah warna yang melengkapi antusiasme terhadap sepakbola. Banyak sekali pesepakbola hebat, baik skala internasional maupun nasional, yang telah saya kenal sejak saya mengenal sepakbola. Saya teringat momentum-momentum pertama perkenalan saya dengan sepakbola. Diantara puluhan megabintang yang tersebar dari Barat ke Timur dan dari Utara ke Selatan, saya mengagumi 4 pemain. Saya sebut saja mereka 'kuartet bintang', yakni Paolo Maldini, Roberto Baggio, Gabriel Batistuta, dan Andrei Shevchenko. Tidak perlu saya jelaskan siapa dan bagaimana mereka, yang penting gabungan dari keempat 'stellars' ini menjadi sumber inspirasi saya. Maldini itu Rossoneri, Roberto Baggio itu soccer sweetheart, Gabriel Batistuta itu predator terhebat di mulut gawang, dan Shevchenko itu fenomenal. Mengidolakan pesepakbola asing saja kurang lengkap. Saya juga pengagum pesepakbola nasional. Sekurang-kurangnya ada 3 bintang lokal yang menjadi idola, yakni Kurniawan Dwi Yulianto, Rully Nere, dan Herry Kiswanto.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H