Lihat ke Halaman Asli

Kartu Lebaran Bapak

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1345967696296578459

[caption id="attachment_202309" align="aligncenter" width="300" caption="foto: ilustrasi"][/caption] Soloraya, H-1 Lebaran Takbir sudah berkumandang. Aji nampak berdiri di depan pintu rumahnya. Sejak siang hari Aji nampak resah, ia menunggu yang dari Jakarta. Setiap tahun selama 4 tahun belakanganya, ia terbiasa menerima kartu lebaran kiriman dari Jakarta. Biasanya satu hari sebelum lebaran kartu lebaran untuk Aji dan keluarganya di Sukoharjo, Solo sudah diterima mereka. Tak hanya kartu lebaran, sepaket bingkisan lebaran berisi baju lebaran untuk Aji datang bersamaan dari pengirim yang sama. "Mak, kok Bapak belum kirim kartu lebaran ya?", tanya Aji kepada Emaknya. "Ya ditunggu dulu tho Le, mungkin telat, kiriman di kantor pos banyak jadi Pak Pos belum ngirim yang punya Bapakmu", jawab Emak Aji sambil menyetrika baju koko lama Aji. "Tapi Mak, besok itu sudah lebaran, Pak Pos pasti juga libur, kartu lebaran punya Bapak pasti juga ndak dikirim besok tho", jawab Aji putus asa menunggu kiriman dari Bapak yang sudah 4 tahun merantau di Ibukota dan belum pernah pulang selama rantau. Di Jakarta, Pak Rano awalnya berangkat bersama tiga kawannya yang juga dari desa yang sama. Mereka berangkat ke Jakarta 4 tahun yang lalu untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Dua teman Pak Rano sudah pulang, karena proyek bangunan yang mereka kerjakan sudah selesai satu tahun kemudian. Pak Rano dan satu kawannya masih mencoba bertahan di Jakarta. Kedatangan Pak Rano dan teman desanya di Jakarta tanpa bekal keahlian, membuat mereka berdua bertahan dengan kerja serabutan. Kawan Pak Rano yang sudah pulang kampong sempat mengabarkan pada istri Pak Rano bahwa Pak Rano setelah selesai proyek bangunan ia menjadi tukang ojek sepeda ontel di Jakarta dengan sepeda pinjaman dari mandor bangunannya. Emak Aji sebetulnya amat cemas memikirkan suaminya di Jakarta, Emak khawatir suaminya hanya klontang-klantung tidak jelasdi Jakarta. Komunikasi dengan suaminya hanya dilakukan dengan surat pos, mereka sekeluarga tidak berniat membeli handphone, mereka khawatir terlalu banyak biaya untuk mengisi pulsanya dan khawatir terlalu bingung mengoperasikannya. Aji yang masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar pun tidak berani meminta handphone kepada Emaknya, selain ada larangan membawa HP ke sekolah, Aji juga sadar Emaknya tidak banyak uang. Handphone rasanya penting tidak penting bagi keluarga Aji. Perihal kiriman uang Pak Rano memilih menggunakan jasa kantor pos, uang hasil kerjanya di Jakarta juga cukup ia kirimkan memakai wesel. Pak Rano dan keluarga tidak memakai jasa bank, mereka takut uangnya berkurang karena biaya administrasi bank. Di era virtual ini, Aji merasa beruntung masih mengenal kartu lebaran di tiap tahunnya terhitung sejak Bapaknya merantau, disaat pengiriman kartu lebaran via pos mulai surut terdengar gaungnya, tergantikan SMS lebaran yang masuk dalam inbox telepon seluler menjadi tanda bermaaf-maafan dari jarak yang jauh. Di desa masih belum banyak pula teman Aji yang sudah fasih membicarakan layanan Short Message Service (SMS), hanya sebagaina dari mereka saja yang mengirimkan dan menerima SMS selamat lebaran. Aji selalu suka dengan kartu lebaran kiriman Bapaknya. Gambar yang dipilih Bapak Aji selalu lucu, sederhana terkadang terlihat mewah. Aji suka sekali membaca isi pesan yang ditulis Bapaknya di kartu lebaran. Pesan asli dari tulisan tangan Bapaknya dan ada tanda tangan Bapaknya. Saat ia datang ke rumah neneknya usai salat idul fitri, Aji membawa kartu lebaran kiriman bapaknya. Sejak ia lancar membaca, Aji selalu membacakan isi tulisan Pak Rano di kartu lebarannya di depan neneka dan pamannya saat berkumpul sungkeman. Aji sangat bangga dengan cara Bapaknya menyampaikan selamat hari raya dari jauh tempat, membuat anak bapak terasa tetap dekat. "Aji, sudah salat isya' ama ngaji belum?" Tanya Emak pada Aji sambil mengelus rambut Aji yang sedang menggambar sesuatu di lantai tanah dalam rumahnya. Meski demikian, Aji masih terlihat gelisah menunggu kiriman Bapaknya di hari raya. "Iya Mak, bentar lagi Aji salatnya", jawab Aji singkat. "Eh, gak boleh bentar lagi tho Le. Ayo segera salat dan ngaji. Inget ndak ama pesen Bapak di kartu lebarannya yang kemarin, setelah puasa tetep dilanjutin rajin ngaji ama salat tepat waktunya. Ayo, Nak Aji segera salat isya ya, nanti lupa langsung tidur malah", kata Emak sambil menyiapkan sajadah buat Aji di atas dipan tempat tidur. Malam itu Aji beranjak meninggalkan kegelisahannya menunggu Pak Pos datang membawa paket lebaran buat keluarganya. Ia segera mengambil air wudhu dan mengaji usai salat. Jakarta, H-7 Lebaran "No, lebaran kali ini kita pulang saja yuk", ajak Sugeng kawan rantau Pak Rano. "Lha, mau pulang tu apa ada uang tho Geng?" Tanya Pak Rano. "Aku sudah bungkus paketan buat anak istriku di kampung, besok tinggal aku kirimkan ke kantor pos. Celenganku kurang kalau untuk naik bus ke Solo, terus belum lagi masih mikir ongkos buat balik ke Jakarta. Ntar bisa balik ke Solo, tapi gak bisa balik kerja disini lagi ya sama saja tho Geng", lanjut Pak Rano dengan sedikit bersusah hati. "Kita pulang pakai motorku tho No, lebaran Jakarta juga gak begitu ramai, ngojek paling juga sepi. Warung kamu juga tutp tho No. Tahun ini aku sudah ada motor, kita bisa mudik pakai motor sendiri No", jawab Sugeng percaya diri. "Yo bisa sih kalau mau pakai motor, di jalan kancane mudik ya banyak ya Geng", jawab pak Rano mulai mengiyakan ajakan Sugeng. "Iya, nanti kita patungan buat beli bensinnya", tambah Sugeng. "Kapan kalau begitu kita mau berangkat, gak usah bawa banyak barang ya Geng. Ntar paketan buat anak istriku aku bongkar aja kardusnya, aku bawa dalam tasku aja, gak usah pake bawa kardus biar enak motorannya. Yo rak Geng?" Tanya Pak Rano bersemangat dengan rencana pulang kampungnya bareng Sugeng. Pak Rano sangat senang dengan ajakan mudik Sugeng, ia berfikir lebaran kali ini momen untuk melepas kerinduannya pada kampung dan keluarga. "Iyo, wis kana gek ndang beres-beres yang mau dibawa. Hahahahaha.." canda Sugeng yang juga bersemangat ingin segera pulang kampung dan bertemu keluarganya di desa setelah 4 tahun ditinggal rantau. Paket baju lebaran dan kue kering lebaran buat Aji dirapikan Pak Rano masuk dalam tas punggungnya. Pak Rano sendiri hanya membawa beberapa helai baju dan sarung masuk ke dalam tasnya. Kartu lebaran yang sudah disiapkan hendak dikirim buat Aji, oleh Pak Rano tidak dimasukkan dalam tasnya. Ia meletakkan kartu lebaran tersebut di atas meja di kamar kostnya. Pak Rano pulang kampung, tentu saja tidak perlu ada paketan yang dikirim oleh Pak Pos, karena bingkisan itu akan dibawa sendiri oleh Pak Rano untuk anak istrinya dirumah. Lebaran mereka akan berkumpul sekeluarga di rumah. Soloraya, H+1 Lebaran "Mak, kok Bapak ndak ngirim kartu lebaran ya?" Tanya Aji heran. "Berarti Bapakmu lagi sibuk ini Le, banyak gawean di Jakarta. Ditunggu aja surat dari Bapak setelah lebaran, besok lak yo Bapak kirim kabar Le", jawab Emak santai. Beberapa tetangga Aji masih menikmati berkumpul bersama keluarga besarnya. Rumah di kanan kiri rumah Emak Aji masih ramai dengan suara canda tawa keluarga mereka masing-masing. Emak dan Aji hanya dirumah berdua. Emak juga belum kembali bekerja sebagai buruh cuci di tempat tetangganya, mungkin satu minggu setelah lebaran ia baru bekerja kembali dan Aji juga sudah mulai masuk sekolah. Lebaran hanya berdua di rumah bukanlah masalah bagi mereka berdua, karena sudah lama terbiasa demikian. Tapi, tidak dipungkiri Emak Aji merindukan suaminya ada di rumah saat lebaran. Sebetulnya ia juga amat heran kenapa lebaran kali ini suaminya tidak mengirimkan paket. Kalau mau pulang kenapa juga tidak ada surat yang datang sebelum ramadhan dari suaminya yang mengabarkan rencananya pulang kampung. Emak Aji berfikir yang terbaik, berdoa kalau suaminya sedang sibuk bekerja di Jakarta. Saat menjelang sore, keduanya asyik menonton acara televise, Emak Aji mencoba menepis penasarannya. "Tok..Tok..Tok.. Kulanuwun, Assalamu'alaikum.." Terdengar ada tamu yang datang mengetuk pintu rumah Aji. "Njih..Njih.. Wa'alaikumsalam", sahut Emak Aji sambil terburu-buru melihat siapa yang ada di depan pintu rumahnya. "Oalah Sugeng...kamu tho. Kapan tekamu Solo?" Tanya Emak Aji sumringah dan senang. "Lagi wae kok Yu, iki Aji tho Yu, wis gedhe ya." Jawab Sugeng sambil menepuk pundak Aji. Aji tersenyum malu pada tamu tersebut. Ia mengulurkan tangannya bersalaman lalu mencium tangan Sugeng. "Lha terus gimana kabare Jakarta? Mas Rano piye kabare? Dia lebaran ini apa lagi banyak gawean disana?" Tanya Emak Aji tak sabar mendapatkan kabar Pak Rano dari Sugeng. "Numpak apa Geng kowe muleh Solo? Sek ya, tak gawek'ke wedang dilut ya", imbuh Emak Aji. "Yu..gak usah, gak usah repot-repot", cegah Sugeng sambil memegang tangan Emak Aji mencegah Emak Aji beranjak ke belakang rumah. Emak Aji lantas kembali duduk, dan menyuruh Aji yang membuatkan teh untuk Sugeng. Aji menurut dan segera mengambil gelas dan membuatkan teh untuk Sugeng. "Aku pulang pakai motorku sendiri kok Yu. Hidup di Jakarta bareng Mas Rano, kemarin kerja ya seadanya. Adanya jadi tukang cat, ya jadi tukang cat. Adanya jadi tukang ojek ya ngojek Yu." Tutur Sugeng sambil menundukkan kepala tak berani menatap Emak Aji. "Yang terakhir kemarin aku ngojek sepeda motor Yu, aku ambil kredit sepeda motor sama orang Jakarta sana. Kalau Mas Rano, dia kerja bantu-bantu di rumah makan Yu." Tambah Sugeng melengkapi cerita. "Syukur, alhamdulilaah kalau begitu. Lha ini Mas Rano sendirian di Jakarta, kamu tinggal pulang?" Tanya Emak Aji yang masih penasaran dengan kabar suaminya. "Mas Rano pulang bareng aku Yu kemarin sebelum lebaran. Kita dari Jakarta pakai motorku boncengan", jawab Sugeng dengan sedikit nada lemas. "Lha Mas Rano mana Geng? Kamu sudah sampai di rumahku, kok Mas Rano malah belum?" Tanya Emak Aji semakin khawatir dan penasaran. Usai meletakkan teh manis buat Sugeng di sebelah Sugeng, Aji hanya diam memperhatikan pembicaraan dua orang dewasa tersebut. Melihat Emaknya yang seakan khawatir pada suaminya, Aji diam dan semakin gelisah dengan kabar Bapaknya. "Sampai di Semarang, motorku disenggol motor Yu. Motorku oleng ke kanan jalan. Mas Rano jatuh dari motor Yu. Hiks..Hiks..Hiks.." Terdengar Sugeng menangis kecil sesenggukan menceritakan kabar Pak Rano kepada istri dan anak Pak Rano. "Bojoku piye Geng, sekarang dimana?" Tanya Emak Aji histeris semakin penasaran. Aji terlihat menitikkan air mata sambil memegang baju Emaknya. Aji takut dengan kabar Bapaknya dari Sugeng tersebut. "Mas Rano ditampani sama bis yang waktu itu lagi lewat di kanan jalan Yu. Hiks..Hiks..Hiks.." Jawab Sugeng sambil menghapus air matanya. Rumah Aji lantas menjadi riuh dengan suara tangis mereka bertiga. Tangis Emak Aji langsung pecah. Terdengar Aji menangis meraung sambil sesekali memanggil Bapaknya. Di jalan raya saat momen mudik lebaran, Pak Rano niat pulang justru malah berpulang. Tak lama kemudian suara sirine ambulan terdengar memasuki gang kampong Aji. Ambulan berhenti di depan halaman rumah Aji mengantarkan jenazah Bapaknya pulang ke rumah. Tak ada kartu lebaran buat Aji, taka ada lagi ucapan selamat hari raya dari Bapaknya baik lewat kartu lebaran ataupun langsung diucapakan oleh Bapak Aji sendiri untuk anak semata wayangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline