Politik - Sebuah negara dikatakan berdemokrasi secara matang, di mana integritas pejabat publik diukur dari seberapa cepat mereka mundur setelah tersandung skandal. Sayangnya, Indonesia bukan salah satunya. Meski terbukti bersalah, banyak menteri tetap bertahan di kursi empuk kekuasaan. Mengapa fenomena ini begitu umum terjadi?
Jarangnya menteri di Indonesia mundur meski terbukti bersalah disebabkan budaya politik permisif, kewenangan presiden, rendahnya tekanan publik, dan alasan stabilitas. - Tiyarman Gulo
Budaya Politik dan Norma Sosial
Berbeda dengan negara-negara maju seperti Jepang, di mana kehormatan dan tanggung jawab pribadi menjadi landasan utama, budaya politik Indonesia tidak memiliki tradisi kuat terkait pengunduran diri pejabat publik. Contohnya, Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara, memilih mundur hanya karena menerima donasi ilegal. Di Indonesia? Kasus serupa seringkali berakhir tanpa langkah serupa. Norma sosial yang permisif terhadap pelanggaran etika politik membuat pejabat merasa tidak ada urgensi untuk mundur.
Mekanisme Hukum dan Prosedur Pemberhentian
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, pemberhentian menteri sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Artinya, meskipun seorang menteri terbukti bersalah, ia tidak otomatis diberhentikan kecuali presiden memutuskan demikian. Kriteria pemberhentian meliputi pengunduran diri, ketidakmampuan menjalankan tugas selama tiga bulan berturut-turut, pelanggaran larangan rangkap jabatan, atau keterlibatan dalam kasus hukum dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih. Namun, keputusan akhirnya tetap berada di tangan presiden.
Kurangnya Tekanan Publik dan Akuntabilitas
Di negara-negara dengan demokrasi matang, tekanan publik dan media terhadap pejabat bermasalah bisa sangat kuat hingga memaksa mereka mundur. Di Indonesia, meskipun ada sorotan media, gelombang kritik dari masyarakat seringkali tidak cukup untuk membuat pejabat merasa terdesak. Minimnya budaya akuntabilitas menyebabkan banyak menteri tetap bertahan meskipun reputasi mereka tercoreng.
Stabilitas Pemerintahan Sebagai Alasan
Pemerintah sering berdalih bahwa pengunduran diri menteri dapat mengganggu stabilitas pemerintahan. Misalnya, dalam sidang Mahkamah Konstitusi terkait pengujian UU Pemilu, pemerintah berargumen bahwa mewajibkan menteri mundur jika mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden bisa berdampak negatif pada stabilitas pemerintahan. Alasan ini kerap digunakan sebagai tameng untuk mempertahankan pejabat bermasalah di kabinet.
Kasus-Kasus Langka Pengunduran Diri
Meski jarang, ada beberapa kasus di mana menteri memilih mundur setelah terlibat masalah hukum. Salah satunya adalah Idrus Marham, yang mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, kasus seperti ini tetap menjadi pengecualian, bukan karena kesadaran aturan.
Fenomena jarangnya menteri di Indonesia mengundurkan diri meskipun terbukti bersalah disebabkan oleh kombinasi faktor, budaya politik yang permisif, mekanisme hukum yang memberi kewenangan penuh kepada presiden, rendahnya tekanan publik, serta kekhawatiran akan stabilitas pemerintahan. Untuk menciptakan budaya politik yang lebih sehat, diperlukan perubahan paradigma dalam melihat akuntabilitas pejabat publik. Bukan soal hukum semata, tapi juga soal moral dan tanggung jawab kepada masyarakat.(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI