Lihat ke Halaman Asli

Sofah D. Aristiawan

Sofah D. Aristiawan

Tongkat Kayu dan Batu Jadi Tanaman

Diperbarui: 6 Juni 2023   16:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas bongkar muat komoditas sayuran di pasar grosir sayuran Pasar Mawar, Jalan Mawar, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (11/10/2020). Foto: Kompas/RONY ARIYANTO NUGROHO

Pada Oktober lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengangkat tema "Leave No One Behind" untuk memperingati Hari Pangan Sedunia sebagai pengingat akan kondisi global hari-hari ini. FAO ingin mengatakan, terlepas dari berbagai kemajuan pembangunan dunia, pada faktanya masih saja banyak orang yang sedikit atau bahkan tak mendapatkan manfaat dari capaian pembangunan tersebut.

Our World in Data menemukan bahwa pada 2019 sekitar 663 juta orang di seluruh dunia masih bergulat dengan problem kekurangan gizi, sementara sekitar 697 juta orang menghadapi kerawanan pangan. Sedang menurut FAO, pada tahun 2021 kelaparan menimpa sekitar 828 juta orang di seluruh dunia.

Situasi Indonesia juga tak kalah memprihatinkan. Global Hunger Index (GHI) 2022 mencatat tingkat kelaparan Indonesia masih berada di skor 17,9 dari 100, menjadikannya tertinggi ketiga di Asia Tenggara setelah Timor Leste (30,6 persen) dan Laos (19,2 persen). Tahun 2021, menurut BPS, ada 17 juta orang atau 6,3 persen di Indonesia masih menghadapi kelaparan. Selain itu, 8,49 persen atau sekitar 23,5 juta penduduk Indonesia mengalami kerawanan pangan.

Pertanyaannya, mengapa Indonesia dengan potensi sumber daya alamnya yang besar, tetapi masih saja berkutat pada problem kelaparan dan rawan pangan, yang artinya belum juga memiliki ketahanan pangan yang kuat?

Masyarakat adat dan sistem pangan

Ketersediaan pangan memang menjadi salah satu dari sebab munculnya problem ketidakcukupan pangan dan kelaparan. Karenanya, selama rentang tahun 1960-an sampai 1980-an, inisiatif yang dikenal sebagai program Revolusi Hijau mengalami pertumbuhan pesat di Asia dan Amerika Latin. Berbagai organisasi donor dan negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, percaya pada program tersebut karena memang pada waktu itu mampu menyediakan pasokan pangan yang cukup.

Namun, dewasa ini, Revolusi Hijau telah dikritik keras karena dipandang sebagai akar penyebab dari situasi pangan dan lingkungan hari-hari ini. Terlepas dari keberhasilannya dalam meningkatkan produksi pangan, kenyataannya hal tersebut mesti dibayar mahal oleh alam. 

Karenanya, dari berbagai riset mutakhir menjelaskan perlunya kita #BersamaBergerakBerdaya untuk kembali memodifikasi pola makan kita, meminimalkan limbah, mendiversifikasi sistem pangan kita, dan mengadopsi metode ramah lingkungan dan iklim sebagai trajektori pembangunan dunia yang berkelanjutan dengan pasokan makanan yang aman.

Sistem pertanian Subak di Bali (sumber: antaranews.com)

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa metode yang paling efektif untuk meningkatkan ketahanan pangan global dan nasional, yakni dengan melibatkan kembali beragam pangan, termasuk budidaya tanaman. Salah satu studi yang dilakukan Delphine Renard (Nature, 2019) mengungkapkan bahwa negara dengan jumlah tanaman yang ditanam lebih banyak juga memiliki tingkat ketahanan pangan yang lebih tinggi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline