Lihat ke Halaman Asli

Sofah D. Aristiawan

Sofah D. Aristiawan

Macet Jakarta

Diperbarui: 5 April 2023   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: Kompas.com

Pagi selalu dinanti. Dan manusia punya ragam cara untuk mengenang pagi. Waktu dengan gemercik air bekas hujan semalam, yang membentuk becekan-becekan kecil di pekarangan rumah yang letaknya tak terlalu jauh dari Jakarta, jadi semacam cawan bagi kawanan itik yang berebut untuk kumur-kumur. Saya duduk, memejamkan mata, menikmati dan merekam pagi. Ada bunga cangkok wijaya kusuma yang mekar saat fajar tadi, juga daun-daun yang habis jatuh ke tanah basah oleh umur. Ia berserak, diinjak, ditendang itik yang berisik. Suaranya seperti mengusir detak jam, detik demi detiknya yang amat mengikat hidup manusia.

Momen pagi yang bagi saya tak sebentar. Menikmati pagi, barangkali merupakan cara tersendiri untuk mengejek dunia yang kian  lama tampak seperti terburu-buru.

Pagi yang terekam itu akan dilindas dengan segera, saat saya, seorang pekerja ibu kota yang sedang menerapkan work from home, memulai pekerjaannya: membuka laptop atau smartphone, oleh berderet kata, angka, juga suara. Gambar, grafik atau statistik. Segala informasi yang saling berebut ruang, berdesak-desak untuk hadir, meski tak utuh. Headline media sosial yang bukan tentang vonis mati bagi Ferdy Sambo, mantan perwira tinggi Polri itu, melainkan bagi saya, tertuju pada anomali yang seolah-seolah mesti bergerak cepat: kemacetan parah di banyak titik di Jakarta hari-hari ini jadi akibat bahwa manusia lupa, ia tak bisa cepat seenak diri. Akibat yang kita temui saat, meminjam Goenawan Mohamad: "Apa yang publik dicincang-cincang kepentingan privat yang terpisah pisah." Hingga macet tak bisa dihindari. Tubuh yang lelah dan stres berjam-jam dalam kemandekan yang sangat. Deretan mobil dan motor terjebak dalam anomali itu.

Semua orang, saya kira, pasti mengutuk macet. Apalagi bagi yang ngantor, momen berangkat dan pulang ngantor adalah momen segala macam umpatan terekam. Detikoto bahkan mengabarkan indeks kemacetan Jakarta hari-hari ini sejak pukul 07.00 sampai 09.00 WIB mencapai 63 persen, lebih buruk dibanding saat sebelum pandemi datang: 60 persen. Artinya, di tengah keluhan akan macet itu, kita perlu menengok diri bahwa macet ialah tak memadainya ruas jalan untuk menampung jumlah kendaraan. Menengok diri bahwa Jakarta panjang jalannya cuma 6.956.842,26 meter saat jumlah kendaraan pribadi sudah mencapai 16.072.869 unit. Artinya, satu unit itu hanya mampu mencapai 0,43 meter saja (BPS DKI Jakarta, 2015).

Sekalipun negara mesti ambil peran amat dominan, macet bukan lagi soal negara yang tak becus mengendalikan jumlah kendaraan pribadi yang beredar, sebab tulisan ini bukan dalam rangka menerangkan kekacauan policy itu, tetapi kita yang juga sulit mengerti apa yang dikatakan Fred Hirsch (jurnalis ekonomi dan sempat jadi penasihat senior IMF): "Pembebasan individual tak membuat kesempatan-kesempatan itu akhirnya membebaskan semua individu bersama-sama."

Memang, kita bebas membeli kendaraan sesuai kadar kemampuan ekonomi kita masing-masing. Pastinya untuk dapat bergerak cepat, barangkali juga, agar cepat sampai kantor. Namun akhirnya, kita jadi mengeluh justru karena tak bisa sepenuhnya cepat, tak mampu lebih bebas bergerak. Sebab jadinya macet merupakan penumpukan di suatu tempat dalam satu waktu dari "pembebasan individual" itu. Boleh dibilang jadi demikian, bukan siapa cepat ia dapat, justru siapa cepat ia tak sempat menikmati kebebasan. Apalagi mengenang pagi dengan khusyuk.

Manusia seakan rapuh jika tak cepat-cepat. Makhluk dengan jadwal padat. Ia akan menjemput kesuksesan bila disertai langkah cepat yang sangat. Karena abad 21, tempatnya cepat dan serba instan. Seperti gaung ekonom asal Jerman yang mendirikan World Economic Forum, Klaus Schwab: "Kini, arah gerak dunia bukan lagi si besar memakan si kecil, tetapi siapa yang cepat menelan siapa yang pelan." Dunia yang tak bisa menikmati hari demi hari, menit demi menit, detik demi detik. Dunia dengan waktu yang dikalkulasikan. Dunia yang lebih terlihat terburu-buru.

Waktu akan terbuang percuma ketika dalam rutinitas macet Jakarta. Dari sana, ada suatu anomali di mana mobil tak berfungsi semestinya. Saya beruntung, dari lilik saya yang bekerja di perusahaan produsen otomotif multinasional, saya dapati, setidaknya sejarah asal mula mobil. Ia dicipta lewat padanan kata auto dan mobile, di mana auto berarti bergerak sendiri, sedang bergerak cepat dan mudah diartikan mobile. Barangkali, abad 21 ini jadi tak terasa demikian, mobil yang "mobile" itu, saat sering kita jumpai macet di tiap ruas jalanan Jakarta. Mobil yang tak gerak, apalagi cepat. Pada akhinya, mobil kehilangan esensinya sendiri.

Tak sampai di situ, kini mobil kian berganti peran. Bagi manusia Jakarta, ia bukan lagi sekadar benda yang bergerak cepat, ia juga sebuah prestise yang menawan. Ia yang memikat rasa ingin manusia yang sangat, mengikat hasrat untuk terus memiliki "prestise" itu dengan gonta-ganti dan tak cukup satu. Sehingga wajar, kepemilikan kendaraan pribadi selalu lebih besar dari bertambahnya panjang jalan. Macet hadir kemudian, ia sebagai akhir yang mandek dari "pembebasan individual" yang justru tak mampu "membebaskan semua individu bersama-sama." Lalu, kita menggerutu: kita ingin cepat, tapi tak dapat cepat. Kita yang tak lebih bebas bergerak, padahal ingin.

Manusia yang tak bisa pelan. Ia yang tak cepat, tak sadar, atau sadar tapi tak acuh, akan "dunia yang cepat menelan yang pelan". Berkali-kali, karena pekerjaan, saya dipusaran diktum Klaus Schwab itu, tetapi pula, tak sepenuhnya saya menyepakatinya. Bisa dikatakan, justru dalam pelan dan sunyi, kebebasan hadir. Ia yang, menurut Goenawan Mohamad, menghayati waktu sebagai ketakjuban yang selalu baru. Perlahan pelan mengenang tiap detik waktu. Hingga berhenti mengatakan kurangnya waktu atau setidaknya, tak lagi cemas bila tak melakukan apa-apa, sebab suara itik, bau harum bunga wijaya kusuma, bunyi gemercik air masih bisa dinikmati dengan mata terpejam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline