Lihat ke Halaman Asli

Perempuan dan Karir : “Plis.. Bolehkan Saya Bersuara, dan Tolong Dengarkan”

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1334728921403697550

Andai saja dunia ini sekarang tetap di era agraris, mungkin perempuan2 tak perlu mengalami dilema panjang dan berat tentang ‘karir’ yang harus dipilihnya. Di masyarakat agraris, perempuan dan laki2 memiliki lahan yang sama, yang harus di rawat bersama, apakah itu bernama sawah, kebun, hutan-hutan sekitar perkampungan. Menumbuhkan biji2, merawat, memanen, dan di konsumsi bersama menjadi bagian yang manis dari perjalanan masyarakat agraris, namun ya itu kehidupan seolah-olah stagnan,rutin. Saat revolusi Industri abad 17-18, mulailah terjadi pembagian “kerja” secara jelas terpisah. Laki2 dewasa memasuki pabrik, sebagai bread winner dan di beri upah, sementara perempuan di silakan di rumah, sebagai house keeper, tak ber upah. Anak2 yang usianya relatif muda juga tertarik masuk pabrik, karena dapat upah, maka supaya tidak menganggu pria2 dewasa, ya diciptakan sekolah, Dengan temuan mesin di abad 18 tersebut, maka melajulah jaman demi jaman hingga sekarang, era teknologi informasi. Pikiran2 individu juga berkembang, termasuk perempuan. Tak kurang2 pemikir dari ilmu2 tingkah laku dalam membahas kajian perempuan dan laki2 dalam berbagai domain. Pada intinya, ternyata perempuan menjadi sadar, bahwa sebenarnya perempuan juga memiliki potensi yang memadai untuk melakukan pekerjaan yang sama dengan lelaki di ruang publik, jadi perempuan ‘menuntut’ disamakan dengan laki2, bisa bekerja di ruang publik, tidak terdomestikisasi (akibat ini menjadikan perempuan merasa inferior = rendah diri), sehingga perempuan melakukan gerakan2 semacam Women’s Lib (di Amerika, tahun 1960 an), Apa yang dihasilkan dari gerakan2 tersebut antara lain adalah feminisme. Perempuan harus diberi ruang, tempat untuk berkiprah sama dengan laki2. Ada yang moderat memperjuangkan ada yang liberal, tergantung perspektifnya, Dalam dunia praktis kita, pikiran2 semacam ini terwujudkan dalam keinginan perempuan untuk ber karir. Karena karir identik dengan ‘persamaan hak laki2 dan perempuan’, modern, mungkin glam (glamourus, maksudnya). Maka berlomba-lombalah perempuan untuk keluar dari kungkungan domestiknya menuju ruang2 publik. Kesempatan untuk masuk ruang publik, bukannya tidak ada, perempuan bersekolah, kemudian masuk ruang publik (bisa sebentar, bisa lama), untuk kemudian karena naluriah, kembali bingung dengan pilihan pengin masuk ruang domestik (kawin, nikah, punya anak), tapi ya tetep pengin berkarir. Jika sudah sampai pada pilihan mau ber karir atau berkeluarga, atau ke dua2 nya ya mau, seorang Archer, psikolog mengatakan, identitas seseorang dalam kaitan memilih karir or keluarga, akan tergantung pada 1) pasangan, 2) ortu, 3) prioritas keluarga atau karir. Membahas pasangan artinya suami, tentu buanyak variasi tipe suami, a)ada yang membolehkan istri berkarir, ( kalau yang positif, suami percaya 100% karir istri bisa mendukung keluarga, kalau yang negatif, ya bahkan suami memaksa istri bekerja, tidak halal pun gapapa, duitnya di ambil suami (ini termasuk suami yang melakukan kekerasan ekonomik pada istri); b) ada suami yang sama sekali tidak membolehkan istri berkarir (kalau yang positif ya suami memang ‘sekti’, bisa melindungi istri dalam berbagai aspek, kalau yang negatif, suami ‘takut kalah’ sama istri, maka melarang). Membahas ortu, ya ortu biasanya berperan saat anak2 perempuannya, lulus dari sekolah, baik tingkat sekolah menengah atau PT. Yang menarik adalah ortu2, tiap anak perempuannya lulus kuliah, terus mau berkarir, diberi persyaratan banyak2 : jangan jauh2 lokasinya dari ortu, cari pekerjaan yang aman dan soft (pekerjaan macam ini, misalnya guru, perawat, pekerjaan perempuan klasik lah (tapi dari pengalaman saya, memang perempuan lebih sesuai dan lebih enak menyesuaikan dirinya dengan pekerjaan2 yang berdekatan dengan domestik). Namun ada catatan saya, para perempuan pahlawan devisa negara kita (PRT di LN), yang sebenarnya pekerjaannya di nun jauh sana, tergolong soft, tapi karena beda kultur, beda etiket jadi merupakan pekerjaan yang tidak soft. Kembali ke ortu tadi, bahkan ada seorang ibu yang mau melepas putrinya untuk bekerja di kota sebelah, sampai membekali dengan ‘jopa-japu’ dari dukun (penasehat spiritual kalee ya). Kalo bagi saya, ya ndonga sama Allah to, katanya kita milik Allah, mohon keselamatan. Membahas prioritas keluarga atau karir. Na ini menyangkut perempuannya sendiri. Setiap pilihan pasti mengandung resiko. Perempuan diciptakan unik, beda dengan laki-laki. Maka sebenarnya, akan sangat penting, jika pihak2 yang berkait dengan perempuan (pasangan, ortu) yang memilih ini, membolehkan perempuan ini bisa menyuarakan apa yang diiginkannya. Menurut bu Giiligan (psikolog), perempuan itu, memiliki different voice, suara yang berbeda. Bisa terjadi, perempuan itu dari dasar hati pengin bicara A, tapi saat di tenggorokan berubah B, ini bukannya plin-plan, tetapi, perempuan itu cenderung ingin balancing, seimbang. Jadi misalnya dia sudah mau bilang A, namun pasangannya atau ortu bilang mbok B saja, A yang mau keluar itu gak jadi, menjadi B bulat atau B ke A-A-an. Ini juga teruji dalam penelitian pak Marcia, juga psikolog, yang bilang, perempuan itu cenderung tidak banyak eksplorasi, tapi komitmennya banyak, tapi komitmen ini datangnya dari pihak eksternal, alias ortu n pasangannya. Jadi munculnya adalah patuh, taat pada perempuan lebih besar dibanding pada laki-laki. Kalau dikembalikan ke pilihan karir atau keluarga tadi, plis, bolehkan perempuan2 ini bersuara, dan tolong deh dengarkan… kalau sudah tahu kepenginannya apa, maksudnya gimana, perempuan ini akan plooong (karena sudah didengarkan), trus selanjutnya saya yakin, gak usah dipaksa-paksa, perempuan akan mengambil keputusan yang pasti akan dia sesuaikan dengan lingkungannya, yaitu pasangan atau ortunya. Na.. untuk perempuannya, silakan memilih dengan menggunakan ratio (pikiran), lebih banyak dibanding emosi. Emosi itu netral, bahkan harus ada dalam setiap pengambilan keputusan, namun memang landasan untuk memilih adalah rasio yang dikembangkan. Dalam kenyataan, karena ‘marmos’ ini, suka2 menjerumuskan perempuan dalam verbal yang salah2, tindakan yang salah kaprah (nekad melakukan atau malah ngambeg). So..udah ya..selamat menjadi perempuan pemilih yang cerdas dan bijak….

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline