“Dengan demikian, kita tetap harus bisa mengolah buah-buah dari agama itu menjadi perdamaian, bukan meninggalkanya menjadi busuk dan tidak bermakna.”
Manusia tak akan pernah lelah mengejar perdamaian dunia. Damai adalah suatu karakteristik yang sulit dideskripsikan. Saat mendeskripsikan perang, dengan mudah kita akan menyebutkan kekerasan, penderitaan dan kekacauan. Sedangkan saat mendeskripsikan damai kita hanya akan menegasikan karakteristik dari perang tersebut seperti tidak ada kekerasan, tidak ada penderitaan, tidak ada kekacauan dan seterusnya. Bisa dibilang, damai pun menjadi sesuatu yang abstrak. Dengan demikian, tak heran jika manusia sangat sulit untuk mewujudkan perdamaian tersebut. Disisi lain, untuk merealisasikan perdamaian yang begitu abstrak tadi, manusia pun mencari sesuatu yang lain seperti agama. Pada dasaranya, agama menyuruh kita untuk percaya kepada sesuatu. Lagi-lagi percaya dalah elemen yang abstrak karena tak bisa dilihat implementasinya secara nyata. Namun, yang menarik adalah bagaimana agama dapat mengajarkan orang untuk berbuat baik. Bagaimana Agama bisa membentuk suatu komunitas yang bertindak sebagai rumah bagi orang-orang yang berbeda-beda. Bagaimana agama dapat menyatukan anak-anak dan orang yang sudah tua, yang kaya dan yang miskin, yang sehat dan yang sakit. Intinya, mereka semua disatukan dan diajak untuk melihat satu sama lain sebagai ‘manusia’ daripada sebuah entitas yang abstrak. Analoginya seperti “hanya intan yang dapat mengasah intan”. Intan adalah sesuatu yang keras sehingga membutuhkan sesuatu yang keras pula untuk meningkatkan nilainya. Analogi ini sering diartikan sebagai “hanya yang terbaik dapat membentuk yang terbaik”. Namun, analogi tersebut juga dapat dihubungkan dengan perdamaian dan agama. Damai adalah hal yang abstrak, sehingga ia membutuhkan hal yang asbrak pula seperti agama untuk meningkatkan nilainya.
Pada dasaranya, manusia seringkali mengedepankan kekerasan dan tinggal dalam kekacauan. Maka dari itu, manusia membutuhkan keindahan dan kebijaksanaan untuk mencapai perdamaian. Agama dapat membawa manusia kesana karena agama mengingatkan kita bahwa manusia bukan hanya sekedar makhluk berintelektual, tetapi ia turut mengkombinasikan seni dan keindahan. Hal ini, menunjukan betapa eratnya hubungan antara agama dan perdamaian. Sayangnya, kita tidaklah hidup di dunia yang ideal. Hal-hal yang abstrak tadi seringkali menuntut sesuatu yang nyata dan realistis. Tak jarang agama bukan menjadi sumber perdamaian, melainkan menjadi dinding penghalang yang semakin menjauhkan nilai-nilai kemanusiaan antara seorang dengan yang lain.
Seringkali konflik-konflik yang ada berawal dari ketegangan antar umat beragama dan tidak adanya toleransi. Fanatisme membuat beberapa kelompok merasa bahwa organisasi atau kelompok tertentu harus musnah. Contohnya, kasus terorisme yang terjadi belakangan ini semakin memperenggang jarak antara barat dan timur. Walaupun demikian, ICRC sebagai organisasi kemanusaiaan yang netral tetap harus melekat ke seluruh lapisan masyarakat. Dari Irak sampai Vatikan, dari Meksiko ke Yerusalem, dari Afrika Tengah ke Bangladesh. ICRC harus terus membangun kerjasama dengan para pemuka agama dan organisasi berbasis agama. Diskusi yang mendalam antara organisasi kemanusiaan dan pemuka agama dapat menyampaikan pesan yang kuat kepada komunitas dan pembuat kebijakan. Secara global para pemuka agama memiliki peran utama dalam menanamkan penghargaan kepada nilai kemanusiaan. Sedangkan, secara nasional para pemuka agama mempunyai peran dalam memberikan arahan kepada komunitas yang berada di situasi yang kacau, sehingga mereka dapat mempertahanakan komunitasnya. Komunitas yang kuat dapat menanamkan rasa toleransi sehingga hasrat untuk menyulut perang dapat diminimalisasi. Perhatian utama ICRC jatuh pada orang yang terkena perang dan kekerasan. Dalam mewujudkannya, ICRC sering berdiskusi dengan pemuka agama tentang bagaimana meningkatkan martabat manusia, meningkatkan kesehatan dan fasilitas personel, serta nasib tawanan dan hak para migran.
Membangun dialog dan kepercayaan adalah salah satu kekuatan ICRC. Pada Maret 2004, Presiden ICRC, Peter Maurer, bertemu dengan Paus Francis. ICRC juga sering berdialog dengan komunitas dan organisasi keagamaan Yahudi, di Israel. Di Meksiko dan Amerika Tengah, serta dibelahan bumi lainnya, ICRC terus menjalin relasi dengan institusi berbasis agama untuk bekerjasama mengurangi kesusahan migran yang sudah melakukan perjalan panjang dari rumah mereka. Selain itu ICRC punya dialog akademik dengan berbagai ahli agama muslim di Iran, melakukan berbagai konferensi tentang syariah dan hukum humaniter internasional di Pakistan, Afrika dan Timur Tengah, termasuk kelompok dan asosiasi orang buda di Asia, serta penginjil di Afrika. Tentu ICRC terus menjalin hubugan dengan kelompok-kelompok tersebut untuk mengurangi miskomunikasi dan kesalah pahaman.
Seperti yang sudah diuraikan diawal bahwa semangat nilai keagamaan juga berangkat dari pelayanan kemanusian. Dengan demikian, organisasi keagamaan dan organisasi kemanusiaan seperti ICRC bisa bekerjasama. Apalagi biasanya organisasi keagamaan lebih sensitif pada isu-isu lokal. Mereka bisa membantu untuk menjawab tentang apa yang dibutuhkan oleh orang-orang dan juga menjadi jembatan bagi ICRC untuk menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Contohnya adalah Iran, negara yang mana agama berperan penting dalam segala aspek kehidupan. Mereka punya organisasi Iranian Red Cresent yang juga organisasi kemanusaian. IRC sudah punya kontak yang cukup dekat dengan sistem nasional. Sewaktu Afganistan dan Irak berselisih saat rezim Taliban berkuasa, IRC dan ICRC bekerjasama untuk memberikan bantuan, sekalipun banyak halangan dari bidang politik dan agama. Pada kenyataannya, perinsip, nilai dan pelayanan Iranian Red Cresent ini tidak bertentangan dengan nilai dan budaya religius negara. Organisasi ini mengungkapkan bahwa ada kesaamaan nilai, seperti impartiality yang dalam bahasa arab ikhlaas yang berati “purity action”. Pengertian lebih dalamnya adalah segala kebaikan yang kita perbuat harus dilakukan untuk Tuhan, tidak ada pertimbangan lainnya. Maka dari itu, organisasi ini juga turut bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kemanusiaa dan perdamaian.
Konflik adalah sesuatu yang nyata dan memang akan selalu muncul di kehidupan manusia. Namun, pencegahan untuk menghindari ketegangan, konflik, perang dan kekacauan harus tetap dilakukan. Persaudaraan dan toleransi harus terus ditumbuhkan dalam umat beragama. Ahmad Ali Noorlaba, Presiden Iranian Red Creset Society, membuat analogi bahwa semua agama itu sama seperti pohon. Semua agama punya tiga level. Level yang pertama adalah akar pohon. Akar pohon ini melambangkan konsep universal dari semua agama. Pada level ini tidak ada perbedaan sigifikan karena semua agama pasti mengajarkan tentang kebaikan. Level kedua adalah tindakan dan perilaku yang dilambangkan dengan daun. Di level ini ada perbedaan pada tiap agama dan juga peradaban. Contohnya, berdoa dan berpuasa adalah dua kewajiban bagi orang muslim. Level ketiga adalah representasi dari nilai-nilai yang dilambangkan oleh buah dari pohon tersebut. Ada buah kesetiaan, kepercayaan, mengahargai martabat manusia, dan lain sebagainya. Semua agama tentu bertolak pada buah-buah tersebut. Perilaku dan kebiasaan atau tata cara setiap agama memang berbeda, tetapi akar dan buahnya menunjuk pada hal yang sama. Dengan demikian, kita tetap harus bisa mengolah buah-buah dari agama itu menjadi perdamaian, bukan meninggalkanya menjadi busuk dan tidak bermakna. Jangan sampai nilai keagamaan justru malah menciderai nilai kemanusiaan.
#70ICRCid