Jika saya sedang suntuk berat akan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup, saya biasanya pergi berkelana alias jalan-jalan. Perjalanan terakhir saya sebelum saya mengubah status dari tunggal menjadi ganda campuran adalah perjalanan ke Desa Sawarna yang terletak di selatan Banten. Perjalanan tersebut termasuk sebuah perjalanan yang sukses karena waktu itu saya hanya pergi berdua teman saya dan kami pergi ngeteng dengan mengandalkan informasi sepotong-sepotong dari internet. Mau kesana? Ikuti cerita saya. Perjalanan kami dimulai dari halte bis Ampera, daerah Tanjung Priok. Kami memulai perjalanan dengan menumpang bis tujuan Rangkas Bitung. Waktu itu bis tidak terlalu penuh dan perjalanan cukup nyaman walau jalan yang kami lalui rusak berat. Rasanya mirip lah dengan rasa naik wahana di Dufan. Tiba di Rangkas Bitung, kami berganti kendaraan untuk menuju Bayah. Kendaraan yang melayani rute Rangkas Bitung - Bayah adalah jenis minibus. Kami beruntung mendapati si minibus masih kosong dan kami memilih duduk di samping pak supir. Selain itu, kami juga beruntung tidak diturunkan di jalan dan dipindah ke minibus lain karena alasan-alasan yang hanya si supir minibus dan Tuhan yang tahu. Tapi, semua keberuntungan itu harus dibayar dengan harga yang tidak bersahabat. Konon, harga lebaran. Yah, kami memang pergi di masa libur lebaran masih panjang. Setiba di Bayah, kami mampir di kedai bakso untuk makan siang dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Desa Sawarna dengan ojek. Di Desa Sawarna kami sempat kesulitan mencari tempat menginap. Akhirnya, kami disarankan menuju Niken Guest House (NGH) yang bangunannya masih baru dan lokasinya dekat dengan Pantai Ciantir, tempat surfing yang aduhai. [caption id="attachment_181945" align="aligncenter" width="512" caption="Jejak Kaki di Pantai Ciantir, Sawarna, Banten"][/caption]
Hari itu, hari sudah sore, kami tidak dapat melakukan banyak petualangan tapi masih sempat melihat sunset di Tanjung Layar. Jadi, melangkahlah kami ke Tanjung Layar ditemani pemuda setempat yang berlaku sebagai pemandu dadakan.
[caption id="attachment_181946" align="aligncenter" width="384" caption="Sunset di Tanjung Layar, Sawarna, Banten"]
[/caption] Usai melihat sunset, kami kembali ke NGH untuk beristirahat. Di NGH ini, ibu pemilik NGH juga bersedia memasak makanan untuk kami. Jadi malam itu, kami menyantap makan malam yang maknyus: nasi, sayur, dan teri kacang. Sambil makan malam di teras, kami melihat para peselancar yang pulang dari berselancar sambil membawa papan selancarnya. Mereka tinggal di rumah sebelah. Selesai makan malam, walau sempat mati lampu, kami memutuskan untuk langsung tidur. Esoknya, pagi-pagi sekali kami bangun demi berkeliling mencari objek foto dan melihat sunrise. Tapi, kami kurang beruntung karena pagi itu agak mendung. Akhirnya, kami kembali ke NGH dan sarapan. Ibu pemilik NGH sudah menyiapkan teh manis, kopi, dan pisang goreng. Oh, sedapnya. Usai sarapan, kami memutuskan mengunjungi Laguna Pari. Bapak pemilik NGH bersedia menjadi pemandu kami hari itu. Sebenarnya, kemarin, para tukang ojek menawarkan jasa ojeknya untuk mengunjungi Laguna Pari dan tempat lain di sekitar Desa Sawarna. Yang benar aja, jauh-jauh dari kota cuma naik ojek untuk pergi ke pantai? [caption id="attachment_181944" align="aligncenter" width="512" caption="Laguna Pari, Sawarna, Banten"]
[/caption] Hari itu kami berjalan menyusuri Pantai Ciantir menuju Karang Beureum dan Laguna Pari. Terakhir, kami menyempatkan diri melihat Karang Taraje. Wah, sungguh keputusan yang tidak salah. Kami bisa menikmati pesisir pantai yang masih bersih. Hampir tidak ada sampah yang kami jumpai di sepanjang pantai. Kami pun sempat mencicipi kerang bakar hasil karya nelayan yang sedang mencari kerang di sekitar Karang Taraje. [caption id="attachment_181943" align="aligncenter" width="512" caption="Karang Taraje, Sawarna, Banten"]
[/caption] Menjelang siang, kami kembali. Suhu mulai naik dan udara cukup panas. Tapi, kami tiada gentar. Kami tetap berjalan berkeliling Desa Sawarna dan Pantai Ciantir. Hasilnya, kulit menghitam. [caption id="attachment_181942" align="aligncenter" width="512" caption="Tercecer di Pantai Ciantir, Sawarna, Banten"]
[/caption] Malamnya, saya dan teman saya memutuskan untuk duduk-duduk di teras NGH sambil menghitung perbekalan. Rencananya, kami ingin berlayar ke gua yang ada di sekitar Desa Sawarna. Menurut Bapak pemilik NGH, berlayar harus dilakukan di pagi hari karena angin yang kurang bagus. Tapi, karena ternyata kami tidak mempunyai cukup bekal, kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta esok hari. Kami meninggalkan Desa Sawarna dengan menumpang minibus warga setempat. Minibus itu melayani rute Sawarna - Pelabuhan Ratu. Sang supir juga menerima titipan dari para tetangga yang memiliki urusan di Pelabuhan Ratu. Rute ini cukup jauh tapi pemandangan sepanjang pantai Pelabuhan Ratu cukup menghibur hati. Dari Pelabuhan Ratu, kami melanjutkan perjalanan menuju Bogor dan terjebak macet di jalan raya Sukabumi. Tiba di Bogor, kami terbirit-birit mencari bis menuju Jakarta karena kalau kemalaman mungkin kami harus menginap di Bogor. Tapi, bis menuju Jakarta masih tersedia dan kami pun melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. http://lifestyle.kompasiana.com/hobi/2012/06/09/weekly-photo-challenge-minimalist-photography/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H