Gesturing Notations (Catatan Tanpa Selesai), merupakan film yang dibuat oleh George Arif, dalam rangka mengenang perjalanan yang ditempuh oleh kelompok seni "Teater Koma" selama 47 tahun berteater. Film ini diproduksi oleh George Arif dan timnya selama 8 tahun, dan ditayangkan pertama kalinya di tahun 2021 yang lalu. Film ini diproduksi di beberapa daerah selain Jakarta, seperti di Cirebon, Ketanggungan Timur, dan juga daerah Tanjung. Proses pembuatan film ini tidak mudah, karena total footage video yang terkumpul selama 8 tahun sejumlah lebih dari 150 jam, dan mereka harus mengemas footage tersebut menjadi 35 menit, itu pasti membutuhkan penulisan alur yang baik, agar durasi 35 menit tersebut dapat mencakup seluruh aspek yang ada.
George Arif sendiri merupakan salah satu pemilik production house Spin Productions, dan juga produser dari film ini. Kontribusi pak Arif dalam film ini sangat besar, karena selain menjadi produser, ia menulis dan menyutradarai film ini. Selain film ini ada banyak karya lain yang telah George Arif buat, seperti film dokumenter Joshua Tree, dan buku Drama: Tentang Kita yang ia tulis sendiri.
Teater Koma yang menjadi pembahasan dalam film ini, adalah sebuah kelompok teater yang didirikan tahun 1977 oleh Nano Riantiarno, bersama dengan istrinya Ratna dan beberapa rekan-rekannya. Hingga kini, Teater Koma terus aktif dalam dunia teater, mereka juga telah melakukan banyak sekali repertoar, antara lain: Sampek Engtay, Opera Kecoa, Maaf.Maaf.Maaf., dan masih banyak karya-karya terkenal lainnya. Di film tersebut Pak Nano membagikan kepada kita arti dari nama Teater Koma, dikutip dari perkataannya, "Sebuah keinginan untuk tidak berhenti, tidak titik gitu. Apa kira kira keinginan untuk tidak titik? Ya koma, koma itu selalu berlanjut." Dilihat dari kutipan tersebut, Pak Nano memiliki visi bahwa selama dia masih bisa berekspresi, ia akan selalu berkarya tanpa berhenti, oleh sebab itulah nama dari komunitas yang ia buat adalah Teater Koma.
Pak Nano sendiri merupakan seorang seniman dan wartawan terkenal. Dalam film itu dijelaskan bahwa, sewaktu kecil ia sangat tertarik dengan dunia pewayangan, karena menurutnya, wayang merupakan salah satu cara yang unik dalam menyampaikan pesan, oleh sebab itu sampai sekarang Pak Nano selalu menjadikan wayang sebagai panutan dalam penulisannya. Pada tahun 1978, salah satu karyanya yang berjudul Jakarta Jakarta, telah mendapatkan Piala Citra, dan karya sinetronnya Karina telah meraih Piala Vidia pada tahun 1987. Sebelum ia mendirikan Teater Koma, Pak Nano juga menjadi salah 1 pendiri dari komunitas teater lain yaitu, Teater Populer yang didirikan pada tahun 1968.
Film dokumenter ini secara garis besar membahas tentang perjalanan Nano Riantiarno dalam membentuk Teater Koma, ia membahas tentang kehidupannya dan juga salah satu pentasnya yang berjudul IBU, yang secara garis besar pentasnya bercerita tentang sekacau-kacaunya sistem pemerintahan dan peperangan yang dialami negara kita, negara itu masih tetap IBU kita.
Dalam film ini kita juga bisa melihat kalau pentas IBU ini, didasarkan dengan masa lalu Pak Nano yang awalnya tinggal di Ketanggungan Timur, lalu ia pindah ke daerah Tanjung dan berakhir di Cirebon. Ia juga bercerita tentang bagaimana masa kecilnya yang bersamaan dengan aksi-aksi kegaduhan Darul Islam. Sembari Pak Nano bercerita tentang masa lalunya, kita akan disuguhi oleh visual situasi di sekitar sana, seperti orang orang yang bermain musik, rumah lama Pak Nano yang di Cirebon, rel dan stasiun kereta tempat bapaknya bekerja saat itu, dan lainnya.
Selain menceritakan kampung halamannya, ia juga tidak lupa untuk menceritakan tentang masa-masa ia bersekolah di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI), saat dia bekerja bersama Pak Teguh Karya yang merupakan pencetus komunitas Teater Populer, hingga akhirnya ia membentuk Teater Koma. Film ini juga memberitahu kita mengenai pembuatan karya-karya yang sebelumnya ia tulis, seperti Trilogi Opera Kecoa dan Sampek Engtay. Dalam film ini Pak Nano sendiri mengatakan kalau ia selalu menyajikan pentas yang sangat relatable dengan para penonton sehingga para penonton bisa dengan mudah mengerti yang ia sampaikan.
Keunggulan yang ada di dalam film ini adalah, film ini telah memberikan gambaran yang cukup jelas tentang Pak Nano, karena banyak sekali topik yang membahas tentang kehidupan Pak Nano, mulai dari kampung halamannya, masa lalunya, sampai ia membentuk Teater Koma, padahal durasi dari film ini bisa dibilang tidak terlalu panjang.