Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Cari Makan atau Cari Hidup

Diperbarui: 21 Mei 2024   20:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

DALAM kesempatan berjalan-jalan di sore hari, seorang bocah lelaki di boncengan sepeda ayahnya, bertemu dengan penjual daun.  Nun di pulau Belitung, sekira lima puluhan tahun lalu dan hingga kini ada sejenis dedaunan yang diperjual belikan sebagai wadah pembungkus makanan, seperti daun jati di pulau Jawa.  Sang ayah mengatakan, "Itu orang cari makan nak?!".  Sang bocah lugu mengangguk-angguk, bukan karena mengerti namun semata-mata karena harus mengangguk.

Kini, lima puluh tahun kemudian, bocah kecil nan lugu di atas sudah menjadi pria uzur, ayah dua orang putri dewasa, yang entah kapan berniat menikah, sering menasehati kedua buah hatinya, bahwa jangan kerja hanya sekedar untuk mencari makan saja, sebab hidup tak cukup hanya sekedar makan.  Sang anak, entah dengan alasan apa, tak paham juga maksud sang ayah. 

Di suasana lain, di pagi hari kota Tangerang, di pinggir jalan protokol tampak petugas kebersihan kota menyapu jalan, semeter demi semeter, bisa jadi mereka bekerja sejak subuh atau beberapa saat sebelum matahari terbit.  Para pedagang makanan dan minuman, menjajakan dagangannya, berharap ada pekerja yang bergegas sehingga tak sempat sarapan.  Para pekerja, baik kerah biru maupun kaum kerah putih mulai melata di jalan-jalan, berjibaku dengan kemacetan setiap waktu jam masuk kerja.  Para pemilik usaha, jika tak mempunyai kebutuhan mendesak, menunggu sebentar dua hingga kemacetan lalu lintas mencair, baru ikut meramaikan jalan.

Lain kota, lain pula pedesaan.  Sebab di desa agraris di pagi hari akan disibukkan dengan pemandangan para petani pergi ke sawah, atau para pekebun pergi ke ladang.  Di pedesaan pesisir pantai, pemandangan pagi hari disibukkan dengan nelayan yang membongkar hasil tangkapan ikannya semalam suntuk.  Semuanya semata-mata demi pekerjaan.

Mungkin suasana kerja yang riang gembira, dapat dijumpai di sektor perdagangan.  Tengok saja pasar-pasar tradisional maupun pasar modern.  Suara riuh rendah pedagang yang menjajakan dagangan dan melayani pembeli, bercampur baur dengan celotehan suara pembeli, yang acapkali cerewetnya bukan kepalang.  Tak jarang juga ditingkahi dengan suara music yang lazimnya disetel oleh salah satu pedagang di kiosnya masing-masing, yang tak jarang suaranya bertabrakan dengan suara musik dari kios lain yang berdekatan.  Siapapun dan apapun mahluknya, akan sepakat suara tabrakan musik tersebut sangat menjengkelkan.

Khusus untuk generasi Z, yang konon dikenal sebagai generasi super kreatif, memilih pekerjaan sesuai dengan "passion" masing-masing.  Passion mana jika diterjemahkan secara ilmiah, adalah antusias atau semangat yang menggebu-gebu untuk melakukan sesuatu yang disukai dan dianggap penting bagi dirinya, namun di mata anak generasi kekinian passion dianggap sebagai, "suka suka gue, alias hanya mau melakukan yang mereka sukai".  Jadi jika merasa tidak nyaman atau tidak sreg dengan pekerjaannya, dengan enteng mereka mengatakan, itu bukan passion saya, serta merta mereka memilih mundur dari pekerjaan dan jadi penganggur.  Sebab konon, pilihannya hanya dua, mundur atau depresi, yang entah kenapa generasi Z tersebut akrab sekali dengan yang namanya depresi tadi.

Arti Kerja Bagi Manusia

Abraham Maslow, pernah mengajarkan tentang kebutuhan dalam salah satu karyanya yang kemudian dikenal dengan nama hierarki Maslow.  Kebutuhan yang paling dasar bagi umat manusia adalah kebutuhan fisik, yaitu berupa makanan, pakaian dan perumahan.  Yang konon, untuk generasi Z, item "perumahan" sudah berubah menjadi "colokan", yaitu stop kontak untuk mengisi daya baterai telpon pintar mereka.  Bukan tak mungkin, juga berkaitan dengan melambungnya harga rumah belakangan ini, yang tidak terkejar dengan penghasilan dari generasi kekinian tersebut.

Kebutuhan kedua, yaitu kebutuhan psikis, atau rasa aman.  Jadi jika kebutuhan pertama terpenuhi, maka individu akan mencukupi kebutuhan akan rasa aman, seperti menabung, asuransi dan lain-lain yang berhubungan dengan sikap berjaga-jaga atas segala kemungkinan yang sifatnya merugikan.

Selanjutnya ada kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain demi menjalankan kodrat manusia sebagai mahluk sosial.  Dalam kebutuhan ketiga ini, segala galanya sudah diukur dengan "penilaian orang lain".  Contohnya, jika pakaian dalam kebutuhan primer sekedar untuk menutupi aurat, maka dalam kategori ini pakaian yang dibeli harus pantas, enak dilihat dan jika perlu dengan merek tertentu.  Dalam kebutuhan ini juga para individu berusaha menjalin pertemanan dari tingkat rendah, sedang hingga intim.

Jika kebutuhan sosial sudah terlewati, individu akan memenuhi kebutuhan ke empat, yaitu penghargaan diri.  Kebutuhan ini erat kaitannya dengan eksistensi diri.  Implementasinya individu berkeinginan agar dirinya menjadi orang yang memiliki nilai lebih, sehingga dirinya menjadi seseorang yang memiliki "nama", dalam artian lain bukan Mr. No Body, alias bukan siapa-siapa.  Jadi misalnya, oh si Fulan, dia seorang anggota dewan, atau seorang kepala desa.  Itulah kenapa orang berlomba-lomba menduduki jabatan atau posisi tertentu.  Bahkan di kalangan rakyat jelata, kebiasaan berjoget di panggung hiburan rakyat kemudian "nyawer", atau memberi uang kepada biduan atau sinden, erat kaitannya dengan kebutuhan keempat ini, kebutuhan akan pengakuan diri dari orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline