Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Di Rusia, Setan Mengutus Perempuan

Diperbarui: 26 Oktober 2020   11:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pengacara di Tangerang, yang acapkali menangani kasus-kasus perceraian akan merasa riang bukan buatan, jika menerima perkara perceraian berupa gugatan cerai yang diajukan oleh seorang istri kepada suaminya, tak peduli alasan yang mendasari gugatan kadangkala tak adil bagi pihak suami.  

Sebaliknya, ia akan merasa berdosa sekaligus berduka jika yang mengajukan permohonan cerai adalah pihak suami, dan serta merta membuat pihak istri menjadi pihak yang tersakiti. 

Mengapa demikian?  Tiada lain karena dirinya beranggapan bahwa wanita adalah mahluk lemah yang sejatinya harus dilindungi, dijaga dari segala bentuk "rasa sakit" oleh mahluk hidup yang mengaku dirinya sebagai pria yang tak jarang menganggap dirinya sebagai mahluk perkasa, gagah berani, tak gentar menghadapi segala jenis mara bahaya. 

Berangkat dari gagasan di atas, lihatlah apa yang terjadi di kehidupan nyata.  Seturut dengan kemajuan ekonomi yang dibarengi dengan semakin kerasnya kehidupan diperkotaan, banyak ditemui praktek-praktek kehidupan yang memarjinalkan kaum perempuan, dan membuat para wanita menjadi warga negara kelas dua.  Kadang disejajarkan dengan anak-anak, dan para lansia.  

Padahal jika mau jujur, nyaris tak ada pekerjaan kaum pria, yang tak bisa dikerjakan oleh kaum hawa.  Bahkan dalam hal ketekunan dan ketelitian, para lelaki kalah jauh dibandingkan dengan mereka.  Itulah sebabnya beberapa pekerjaan yang sifatnya monoton, dan melelahkan cenderung dikerjakan dengan lebih baik oleh pekerja wanita. 

Di sebuah keluarga, acapkali jika seorang anak memiliki prestasi yang membanggakan, serta merta orang di sekitarnya akan menganggap bahwa sang ayahlah yang paling berperan dalam menunjang kesuksesan si anak.  

Sehingga dengan bangga sang ayah yang tak tahu diri tersebut akan menepuk dada, sambil berkata angkuh, "Siapa dulu dong bapaknya...".  Padahal jika lelaki jumawa ini mau sedikit membaca hasil penelitian, jelas disebutkan bahwa kecerdasan dan ketekunan anak diturunkan oleh si ibu, sang ayah hanya menurunkan sifat ketegasan dan kerja keras semata, itu pun jika dalam kehidupan sehari-hari si anak dipertontonkan dengan sosok ayah yang tegas dan pekerja keras.  

Jika sang ayah mempertontonkan sebaliknya, misalnya pada saat waktu libur menghabiskan waktu seharian dengan bermalas-malasan dan nonton acara olah raga catur, jangan kecewa jika anak nantinya akan jadi pemalas juga. 

Celakanya jika sang anak berperilaku tidak sesuai kehendak orang tua, masyarakat, atau bangsa dan negara, maka dengan enteng sang ayah berkata, "Tau tuh, jadi bandel, habis ibunya sih terlalu manjain...".  Dan masyarakat sekitar, kontan ikut-ikutan menuduh sang ibu sebagai penyebab, apalagi jika si ibu masuk kategori ibu cantik lagi muda serta disukai oleh para lelaki sekampung.

Di kalangan masyarakat, kerap kali kita dengar ujaran yang mengatakan, "Di balik pria yang sukses, selalu ada wanita hebat yang mendukung.", dan sebaliknya, tak dapat dipungkiri, bahwa di balik para koruptor, atau bromocorah yang tertangkap dan menjadi pesakitan, juga ada peran wanita yang senantiasa menuntut dan abai dengan keselamatan pasangannya.  

Kendatipun sampai saat ini tak jelas dalam hal kelakuan para koruptor dan bromocorah kurang ajar tersebut, apakah benar atas dorongan wanita sebagai pasangannya yang sah, atau wanita yang lain selain dari yang sah menurut hukum agama serta negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline