Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Bola Kristal Para Ayah

Diperbarui: 20 Oktober 2020   10:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Alkisah hiduplah sebuah keluarga di kota Tangerang, yang terdiri dari seorang ayah, seorang ibu dan dua putri yang kini sudah dewasa, namun belum mandiri, akibat belum lulus dari bangku perguruan tinggi. 

Kehidupan keluarga kecil tersebut lumayan bahagia dan harmonis, sepanjang tidak bersinggungan dalam hal cara mendidik kedua putri kesayangan mereka. 

Sebab jika sudah bertengkar akibat berbeda pendapat tentang cara menyelesaikan masalah kedua putrinya, tak jarang sang ayah untuk dua atau tiga malam terpaksa harus tidur di sofa. 

Masih untung keluarga tersebut memiliki sofa, jika tidak, tidur di atas gelaran tikar di lantai akan menjadi hal yang tak dapat dihindari. Itulah arti penting kepemilikan sofa atau tikar di sebuah keluarga yang para petingginya sering berselisih paham.

Akibat terlalu banyak membaca buku-buku terbitan luar, khususnya Amerika, tatkala menginjak usia SMP, kedua anak tak mau lagi memiliki asisten rumah tangga yang sehari-hari melayani kebutuhan mereka. 

Sang ayah mengiyakan, walaupun sadar malapetaka akan menimpa dirinya, mengingat selama ini kendatipun memiliki asisten rumah tangga, sang ayah tetap melakukan pekerjaan rumah seperti biasa, terutama dalam hal mencuci pakaian dalam sekeluarga, yang sangat dilarang oleh sang ayah untuk diserahkan kepada orang lain. Sang ayah berpendapat, untuk hal-hal yang kotor dan menjijikkan, tanggulangi sendiri. 

Di sinilah salah satu bibit pertengkaran dari sekian banyak bibit pertengkaran lain yang terkait dengan metode mendidik anak. Sang ibu sangat tidak setuju membiarkan sang ayah memanjakan para anak sedemikian rupa, sambil sekali dua ada juga pakaian dalamnya terselip, luput dari dicuci sendiri sehabis mandi.

Selanjutnya, selepas asisten rumah tangga meninggalkan rumah, tugas menyapu dan membersihkan rumah ditanggung sang ayah, termasuk mencuci piring bahkan peralatan masak memasak jika sang istri yang kebagian tugas memasak sedang datang "mood" malasnya. 

Para anak putri, hidup bagaikan putri raja minyak jelantah, hanya memiliki kewajiban untuk belajar dan bekerja sekeras mungkin pada bidangnya masing-masing, sesuai kodrat seorang anak. Jadilah akhirnya mereka hanya tekun belajar ilmu dan agama, membaca dan bermain. 

Jika mereka berniat membantu meringankan pekerjaan rumah tangga, sang ayah berkata, "Biarkan saja, nanti ayah yang membereskan. Toh dulu yang mengajak bunda kalian menikah adalah ayah, jadi tugas ayahlah seluruh kewajiban membereskan rumah ini, bunda hanya membantu. Dan karena yang ingin melahirkan kalian adalah bunda dan ayah, berarti kalian tak punya kewajiban apa-apa dalam membantu urusan rumah tangga ayah dan bunda.". 

Untuk kasus ini sang istri murka bukan buatan, setelah menuduh sang ayah ingin menjerumuskan anak-anaknya, melarang sang ayah untuk tiga hari ke depan tidur di kamar. Sang ayah menerima dengan lapang dada, dan berdoa semoga apa yang dilakukannya sudah sesuai dengan ajaran dalam salah satu ilmu psikologi yang pernah dibacanya, entah siapa pengarangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline