Sepulang sekolah, seorang remaja putri dari keluarga bahagia, menangis sesenggukan di samping ayahnya, membuat kaget sang ayah yang senantiasa riang gembira oleh sebab merasa bahagia bisa menyediakan waktu di tengah kesibukannya untuk mengantar jemput sang buah hati, sejak TK hingga saat itu.
Sang ayah, sebagai penggiat sumber daya manusia, merangkap pengacara serta dosen, yang anak PAUD pun paham pasti memiliki rasa percaya diri meluap-luap dan acapkali merasa dirinya hebat, cerdas dan sejenisnya, hanya bisa tercengang-cengang seperti peternak habis kehilangan kambing kesayangan.
Bagaimana sang ayah tak bingung tujuh keliling, putri bungsunya sedari kecil merupakan seorang anak yang riang gembira, humoris tingkat dewa, gemar membaca dan pintar menulis. Memiliki teman-teman yang juga satu spesies dengannya, di mana tiada hari dilewati tanpa canda ria semata, seolah mereka diciptakan hanya untuk tertawa-tawa, tiada lain dari tertawa-tawa.
Nyaris setiap hari sang anak bertukar cerita dengan sang ayah tentang kegiatannya sepanjang hari, dan menjelang tidur si bungsu tak pernah alpa menulis pengalaman kesehariaannya di buku harian. Di lain waktu cerpen-cerpen atau puisi khas kanak-kanak hingga remaja berhasil dibuatnya dengan cukup baik.
Bahkan dari sang anak pulalah ayahnya tahu bagaimana perasaan seorang anak kecil. Kala itu si anak berkisah, pada saat belum sekolah hingga taman kanak-kanak, dirinya beranggapan bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi, dari mulai kedua orang tuanya, guru-gurunya dan teman-temannya sekalian diciptakan khusus untuk melayani dan menghibur dirinya.
Namun begitu ia duduk di kelas satu SD, pada saat perayaan ulang tahunnya yang ketujuh dan mulai paham bahwa ada orang-orang yang mulai menua, ada yang sakit serta meninggal, sadarlah ia bahwa Tuhan tidak menciptakan mereka untuk dirinya sendiri.
Sebab, jika untuk dirinya tak dibiarkan olehnya ada yang menua, sakit ataupun meninggal. Seumur hidup saja mereka menjadi anak TK yang senantiasa tertawa-tawa tak kurang suatu apa. Dan sejak saat itu pulalah ia memahami arti duka nestapa.
Dengan perasaan perih di lubuk hati, sang ayah bertanya ada apa gerangan yang mebuat risau hatinya. Sang anak menjawab, "Ingin menemui psikolog, karena merasa hidupnya hampa. Acapkali merasa sedih tanpa bisa dihibur dan ingin mati saja rasanya.".
Bayangkan, bagaimana gundahnya hati sang ayah, mendapati kenyataan yang demikian bertolak belakang dengan apa yang selama ini dilihat dan diperkirakannya. Putrinya yang senantiasa terlihat bahagia, tercukupi segala kebutuhannya ternyata memiliki duka lara tiada terperi.
Namun karena menghargai sang putri, ia tidak bertanya apa penyebab sang putri merasa sedih, karena dirinya paham belaka bahwa kesedihan putrinya bukannya terobati malah akan semakin menjadi-jadi.
Apalagi jika saja sang putri menjawab alasan sedihnya, bukan tak mungkin nasehat panjang lebar akan berjejalan keluar dari mulut sok tahu sang ayah. Jadi sebagai ayah yang mencoba bijak, dirinya mengiyakan saja kehendak putrinya.