Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Komunikasi yang Tak Mau Kalah

Diperbarui: 6 Maret 2020   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dua orang kakak beradik, yang sudah sangat gerah dengan aturan dari ibunya komplain keras kepada ayahnya, karena seperti layaknya seorang ibu, nyaris di manapun di muka bumi dan pada mahluk spesies dan jenis apapun demikianlah adanya.  

Coba saja perhatikan, mana ada induk ayam atau induk kucing yang tidak cerewet berceloteh, berkotek atau mengeong jika memiliki anak yang masih kecil.  Bahkan induk kambing pun mengembik berulang-ulang, jika sang Cacamarica tak terlihat di depan matanya.  

Demikian jugalah ibu kedua anak remaja yang mulai menginjak dewasa tadi.  Sejak mereka berdua baru mampu berguling-guling seperti ulat pisang, hingga kecakapan bicara mereka melebihi ibu dan ayahnya, keceriwisan ibunya masih belum bisa ditandingi. 

"Ayah bagaimana sih, kalau di belakang bunda berani ngomong macam-macam, bilang sebetulnya kami nggak salah lah, bilang bunda lah yang nggak paham keinginan anak-anak, coba sana depan bunda...berani nggak bilang bunda yang salah?".  Tenggorokan sang ayah langsung tercekat, daripada disuruh melawan istri, mendingan disuruh berkelahi sama genderuwo deh. 

Namun bukan seorang ayah namanya jika tak mampu menjawab, "Bukan takut nak, tapi nggak boleh, sebab jika ayah ikut membela kalian, dan kemudian kita jadi bersekutu bertiga, maka kasihan bunda kalian.  Bisa-bisa bunda jadi depresi karena disalahkan oleh kita bertiga.  Jadi ayah pilih diam, sebagai salah satu bentuk agar bunda tak merasa disalahkan.".

Tidak hanya di rumah, sang ayah yang selalu memilih berdiam diri tersebut, ternyata jika dalam pergaulan di luar rumah pun termasuk dalam golongan orang yang lebih banyak diam.  Perilakunya jika tengah berkumpul dengan tetangga, kolega maupun teman lebih banyak diamnya.  

Biasanya ia selalu memulai percakapan dengan ceria, memancing topik pembicaraan kemudian mendengarkan jika percakapan sudah menjadi ramai, lalu mengangguk-angguk seperti burung perkutut.  

Jika ada satu dua orang teman yang iseng bertanya, kenapa lebih banyak diam, ia akan menjawab dengan cara yang menyakitkan, "Dulu saya kuliah di Ilmu Komunikasi, di sana diajarkan, bahwa komunikasi yang baik itu adalah diam dan mendengarkan dari pada banyak berbicara.".  Teman yang bertanya, serta merta merasa tersinggung dan jengkel bukan kepalang.

Lantas, kemanakah sang pria tadi melampiaskan rasa ingin bicaranya yang meledak-ledak, karena sebagian besar orang-orang yang energik tentunya sangat ingin menjadi pembicara yang dominan dan didengarkan banyak orang.  

Ia akan melampiaskan keinginan berbicaranya di depan mahasiswanya, karena di samping bekerja di pabrik pada pagi harinya ia juga mengajar di sore hari, jika masih belum puas berbicara di depan mahasiswanya, dengan jarinya ia berceloteh menjalin kata demi kata untuk dikirimkan ke Kompasiana.  Masalah dibaca oleh khalayak atau tidak, itu urusan ke enam belas.  

Sesampai di rumah, giliran dirinya menjadi pendengar yang baik segala celotehan istrinya, pada saat itu ia dianggap suami yang mau mendengarkan, tak peduli dari seratus macam cerita sang istri yang menempel di otaknya, hanya tiga atau empat macam saja.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline