Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Penghuni Surga yang Merusak Surganya Sendiri

Diperbarui: 5 Maret 2020   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang warga negara Belanda yang semasa hidupnya lebih banyak bermukim di Indonesia, MAW Brouwer, pada sekitar tahun sembilan puluhan, sempat menulis di salah satu media terkemuka negeri ini, bahwa bumi Pasundan diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum oleh karena saking lengkapnya keindahan bumi Parahiyangan tersebut. 

Dari mulai alamnya yang indah, makanannya yang lezat, hingga gadis-gadisnya yang cantik rupawan.  Tak disebutkan bahwa para pemudanya juga tampan rupawan belaka, entah karena alasan apa.  

Mau ditanyakan kepada beliau, dirinya sudah tenang di alam baka sana, tak jelas sedang tersenyum atau tidak.  Disuruh nyusul ke sana, nanti dulu deh, mau nyantai-nyantai saja ke sananya.

Di belahan daerah yang lain, dengan keindahan alam yang lain pula jenisnya, namun dihuni oleh penduduk yang siang malam melakukan ritual peribadatan dalam menyembah dewa-dewi.  

Alam yang indah, ditingkahi dengan ritual peribadatan yang khusuk, membuat pulau indah tersebut kian menawan.  Lagi-lagi orang-orang dari luar menjuluki pulau tersebut sebagai pulau dewata, tempat para dewa-dewi khayangan turun ke bumi.  

Para penduduk pulau itu sendiri hanya terkaget-kaget mengetahui bahwa tanah tumpah darah peninggalan nenek moyangnya dikagumi penduduk sejagat raya.  Jika planet Pluto masih diakui, bisa jadi para penduduknya pun ikut mengakui sebutan pulau dewata tersebut tepat adanya.

Sebetulnya, di bumi pertiwi ini, nyaris di setiap tempatnya, dari kota hingga pelosok desa mempunyai alam yang indah belaka.  Iklimnya sangat bersahabat, karena perbedaan antara suhu tertinggi dengan suhu terendah tidak terlalu ekstrim.  Membuat irama tubuh tidak melejit-lejit perubahannya. 

 Matahari bersinar sepanjang tahun, hanya sehari dua saja yang kadang kala absen menyinari bumi.  

Itu pun sudah membuat warganya yang manja bukan buatan sudah mengeluh kesana kemari, dari yang mengeluh karena jemurannya tidak kering, masuk angin, batuk pilek dan kedinginan.  

Padahal suhu terendah pada umumnya tak pernah kurang dari dua puluh derajat Celsius, suhu standar di ruang gawat darurat rumah sakit-rumah sakit yang ada di negeri tersebut.

Para penduduknya pun dikenal sebagai ramah tamah adanya, penyebabnya tak lain dan tak bukan karena kebiasaannya menyapa ramah siapapun yang dijumpai.  Tak peduli kenal ataupun tidak, lebih khusus lagi jika yang disapa adalah warga negara asing yang memiliki perbedaan mencolok terkait bentuk tubuh dan warna kulit, mata, rambut dan lain sebagainya.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline