Pada pertengahan tahun sembilan puluhan, tersebutlah seorang anak laki-laki kelas empat sebuah sekolah dasar negeri di Bandung, tinggal bersama kedua orang tua dan kakak-kakaknya, yang kebetulan mengelola sebuah rumah kost berjumlah belasan kamar.
Oleh karena yang tinggal di rumah kost tadi, semuanya adalah para mahasiswa, sudah barang tentu anak bungsu si ibu kost tersebut sering bermain bersama dengan anak-anak kost. Namun ternyata, kendatipun sering bermain atau berkumpul dengan para mahasiswa, pelajaran si anak di sekolah lumayan jauh teringgal.
Nilai rapotnya selalu masuk kelompok tiga besar, dihitung dari nilai yang terkecil. Jika sekelas muridnya berjumlah tiga puluh lima orang, ranking si anak tersebut kalau tidak tiga puluh tiga, yah tiga puluh empat.
Setiap habis ulangan, yang hasilnya dinilai oleh wali kelas maka para mahasiswa yang kurang kerjaan tersebut ramai-ramai membaca jawaban si anak, yang acapkali jawabannya mengundang tawa, saking lugunya.
Namun ada yang menarik dari perilaku si anak, kendatipun dalam hal pelajaran si anak tertinggal, tetapi tidak demikian halnya dalam kehidupan sehari-hari. Tekad dan kemauannya sangat kuat sekali, bahkan dapat dikatakan sangat luar biasa.
Salah satu bukti betapa kuatnya kemauan si anak, adalah manakala ia belajar mengendarai sepeda, karena ia hanya butuh waktu satu hari saja. Pada suatu sore, ayahnya membawa pulang sepeda mini bekas. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali si anak sudah menuntun sepeda berkeliling lapangan di depan rumah.
Sekira jam sepuluhan ia sudah mulai mencoba menaiki, sedikit demi sedikit, dan jatuh berkali-kali. Di sore hari, sekitar jam limaan, dengan muka dan tubuh coreng moreng karena siang harinya kota Bandung sempat diguyur hujan deras, si anak sudah mampu mengendarai sepeda. Perlu diketahui, ia belajar sepeda sendirian tanpa dibantu oleh siapapun.
Setiap kali si anak mendapat pengalaman baru, misalnya sepulang dari pemakaman umum, maka sesampainya di rumah ia akan membuat replica apa yang telah dilihatnya di luar rumah tersebut. Jadilah suatu hari tersebut, ia membuat makam-makam mini lengkap dengan taburan bunga warna-warni.
Pernah juga saat malam harinya ia menonton televisi, kebetulan siaran flora dan fauna tentang hewan ular. Keesokan sorenya ia pulang membawa ular sawah ukuran kecil. Bayangkan jika yang ia tangkap adalah ular kobra atau ular berbisa lainnya, bisa-bisa sore itu para mahasiswa penghuni kost-kostan dan orang tua si anak harus pergi ke pemakaman betulan.
Selain mempunyai kemauan sekeras baja, anak yang kurang beruntung dalam pelajaran ini mempunyai kemampuan untuk mengkoordinir teman-teman bermainnya. Tak peduli teman bermainnya jauh lebih besar dari pada dirinya.
Dalam satu kesempatan, setelah menyaksikan lomba panjat pinang dalam rangka perayaan agustusan di kampungnya, ia bersama teman-temannya membuat perlombaan panjat pinang juga, dengan ukuran mini.