Lihat ke Halaman Asli

Tito Prayitno

Notaris dan PPAT

Di Jakarta, Kesenjangan Hanya Setipis Kaca Mobil

Diperbarui: 26 Februari 2020   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah perjalanan di Jakarta, tepatnya di sebuah perempatan lampu merah Tomang, seorang ayah berkendara bertiga dengan dua anak gadisnya.  Sang adik bertanya, "Ayah, seberapa jauh perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin di negeri ini?" Sambil menunggu lampu menyala hijau, sang ayah bermaksud menceramahi panjang lebar kedua anaknya.  Kesempatan emas dalam menanamkan pentingnya kerja keras, sekaligus menunjukkan bahwa ayah dan bundanya sudah lumayan berhasil menempatkan mereka ke dalam kehidupan yang tidak terlalu sengsara.

"Sangat lebar nak jurang pemisah antara yang kaya dan miskin di negeri ini.  Di sini, yang kaya bisa sangat kaya, bahkan super kaya, namun yang miskin bisa sangat fakir, miskin papa nak.".  Belum sempat ayahnya melanjutkan dengan ceramah berkepanjangan, si putri nakal sudah membalas, "Tidak ayaaah, hanya setipis kaca mobil, tuuh lihat, di perempatan ini dari mobil yang paling bagus sampai yang paling jelek berkumpul jadi satu.  Pengamen dan pengasong juga ada.  Tak terlalu jauh kan pemisahnya?".  Sang ayah mati gaya.  Punya anak cerdas, ada kalanya bisa bikin emosi.

Sekilas dalam perjalanan tersebut, terlihat drama kehidupan berlangsung dalam hitungan detik.

Tampak pengamen dan pengemis serta pedagang asongan, mendatangi kendaraan yang sedang menunggu lampu hijau menyala.  Pengemis dengan modal kedua telapak tangannya, pengamen dengan memainkan alat musik seadanya, entah lagu apa yang dinyanyikan dan bagaimana suara musiknya pun tak terdengar, serta pedagang asongan yang menawarkan makanan ringan, kacang dan kawan-kawannya.  Satu dua ada juga yang menawarkan tisu.  Seorang dua ada yang berseliweran membawa kemoceng, entah untuk kegunaan apa.

Beberapa mobil mewah, tampak diam membeku, tak ada tanda-tanda membuka kaca pintu mobil, bisa jadi sang sopir tak dibekali uang receh oleh majikannya, atau bisa juga dilarang membuka kaca, khawatir udara panas menguar masuk, dan bukan tak mungkin pula sang sopir merasa tak enak dengan majikannya jika memberi recehan kepada mereka.

Kendaraan kelas menengah, beberapa tampak ada yang membuka kaca dan menyodorkan uang receh.  Yang sangat menarik, justru adalah perilaku sopir truck, angkutan umum, bahkan mobil pick up kecil pembawa barang.  Entah karena mobilnya tidak ber AC atau entah karena alasan lain, kaca mobilnya senantiasa terbuka.  Dan dengan murah hati, pengamen, pengemis yang datang menyodorkan tangan selalu mendapat recehan sekedarnya.

Beberapa pedagang asongan pun tak luput dari rejeki para sopir yang murah hati ini, bahkan pedagang tisu yang kegunaannya tak jelas untuk sopir yang senantiasa berkeringat melebihi air mandi inipun satu dua ada yang berhasil menjual barang dagangannya kepada mereka.  Hanya mereka yang bolak-balik membawa kemoceng saja yang termangu-mangu, mau membersihkan kaca truck, terlalu tinggi, dan juga mungkin sudah sangat kotor.  Mau membersihkan mobil mewah, khawatir malah jadi tambah kotor.

Di sebuah pemukiman mewah, bahkan sangat mewah, jurang pemisah kaya dan miskin tidak terlihat, karena semua pemilik rumah berisi orang-orang kaya semata.  Hanya saja, di dalam rumah-rumah tersebut, sejatinya terdiri dari dua kelas yang relative jauh berbeda, yaitu keluarga si pemilik, dan keluarga yang bekerja mengurusi segala tetek bengek keperluan rumah-rumah mewah tersebut.

Biasanya, si pemilik rumah mempekerjakan seorang sopir, sekaligus istri si sopir dipekerjakan sebagai pengurus rumah tangga, lalu diberikan tempat tinggal di bagian tertentu yang masih berada dalam area rumah induk.  Ataupun kalau si pemilik mempekerjakan sopir yang masih lajang, dan pengurus rumah yang masih lajang juga, kerap kali terjadi akhirnya si sopir menikahi si gadis pengurus rumah tangga.  Jika di rumah tersebut juga mempekerjakan seorang dua satpam atau tukang kebun, dapat dipastikan sang satpam atau tukang kebun tadi akan cemburu bukan kepalang, dan seterusnya akan menjadi pengganggu yang kadang meresahkan dan bikin jengkel.

Rumah-rumah megah dan angkuh tersebut, terlihat begitu dingin.  Masing-masing memiliki hidup sendiri, dan bisa diselesaikan sendiri, tanpa perlu meminta bantuan ke rumah tetangga di sekitarnya.  Saling tegur sapa pemiliknya pun sangat jarang terjadi.  Pemiliknya sebagian besar adalah pengusaha,  satu dua terselip juga rumah pejabat daerah, maupun pusat, pejabat politik maupun pejabat pemerintah, ataupun pegawai negeri yang nama instansi dan pangkatnya tak elok disebut di sini.  Mungkin silaturahmi antar tetangga diwakili oleh para sopir dan pengurus rumah tangganya saja.  Pengurus RT nya pun tak jelas bermukim di mana.

Sedikit berbeda adalah keadaan di pemukiman menengah, yang berada di tengah-tengah perkampungan penduduk.  Sekelompok rumah, yang penataannya lebih teratur, lumayan bagus dan dipagar berkeliling, kendatipun di dalamnya sendiri batas antar rumah sebelah menyebelah tidak dibenarkan berpagar.  Mungkin agar hubungan antar tetangga tetap berjalan harmonis, atau agar sempitnya lahan setiap rumah tidak terlihat, sebab acapkali rumah di kelompok ini berukuran minimalis, namun sangat strategis karena dekat dengan fasilitas umum, seperti transportasi, rumah sakit dan sebagainya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline