Dalam sebuah kesempatan menggunakan angkutan kota di Cileungsi, seorang pria paruh baya pekerja kelas menengah menumpang bersama dengan lima orang lainnya. Dua penumpang pertama turun, sang sopir menolak ongkos yang disodorkan kedua penumpang tersebut. Sang pria berpikir, mungkin karena tak ada kembaliannya, karena kedua penumpang tersebut masing-masing menyodorkan uang lima puluh ribuan, untuk ongkos yang hanya lima ribu rupiah per orangnya.
Kedua penumpang pun bingung bukan kepalang, terlihat dari raut wajahnya yang terheran-heran seperti orang habis melihat ayam mengendarai kuda. Tiga penumpang lagi turun, dan sang sopir menolak, kali ini karena kebetulan yang menumpang terdiri dari dua anak sekolah dan satu remaja pengangguran, mereka berterima kasih dengan ceria dan turun dengan riang gembira.
Saking penasarannya, sang pria yang kebetulan duduk di sebelah sopir tak tahan untuk berdiam diri dan menduga-duga, lalu menanyakan ada apakah gerangan sehingga sang sopir begitu murah hatinya menolak ongkos lima orang penumpang yang jika ditotal semuanya berjumlah dua puluh lima ribu rupiah. Jumlah yang jika dibelikan sebungkus rokok oleh si sopir, masih sisa lima ribu rupiah dan jika dibelikan sekilogram telur anak dan istri di rumahnya tak akan kekurangan gizi.
Dengan santai sang sopir menjawab, "Tadi ada penumpang yang membayar dengan uang seratus ribuan, dan menolak kembaliannya. Padahal ongkos angkot kan hanya lima ribu rupiah."
Di tengah keterkejutannya, sang pria menyambung, "Tapi dek, saya di Tangerang cukup kaya, jadi saya tetap akan membayar ya?!" Sang pria merasa tak enak hati, karena menurutnya uang sejumlah sembilan puluh lima ribu rupiah, bukanlah jumlah yang cukup besar untuk zaman sekarang, apalagi Cileungsi kan merupakan daerah pinggiran ibukota.
"Maaf pak, bapak boleh saja kaya raya di tempat bapak, tapi di sini bapak tamu saya, jadi bapak tetap saya gratiskan juga, karena saya diajarkan untuk memuliakan tamu...", sang sopir menjawab sambil cengengesan. Sang pria mati angin, tak tahu mesti berkata apa, dan turun dengan keharuan yang tiada terperi.
Masih pengalaman si pria paruh baya juga, suatu hari di pasar tradisional yang buka hanya seminggu dua kali, di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, tepatnya Kutoarjo, ia melihat seorang lelaki tua, berusia kurang lebih enam puluh lima tahunan sedang berjualan nangka muda yang sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil. Tak ada barang dagangan lain kecuali tumpukan nangka muda tadi.
Dengan standar harga kota, sang pria kaget bukan kepalang ketika bertanya berapa harga semua nangka tersebut jika laku semua, ternyata hanya lima puluh ribu rupiah. Merasa ingin menyenangkan hati sang kakek penjual nangka, si pria paruh baya tadi menyatakan ingin membeli semua nangka yang dijual, dengan harapan sang kakek bisa segera pulang ke rumah dan bermain bersama anak atau cucunya.
Namun apa yang terjadi, sang kakek menolak menjual semua barang dagangannya kepada satu orang saja, dengan alasan; jika dibeli oleh satu orang, nanti kasihan sama pembeli lain yang ingin membeli nangka yang sudah dikupas. Jika ingin membeli dalam jumlah besar, beli saja di tukang nangka yang menjual dalam bentuk utuh, belum dikupas. Harganya pun bisa lebih murah, demikian anjuran sang kakek.
Di peristiwa lainnya, tatkala terjadi pemadaman listrik di hampir seantero pulau Jawa beberapa waktu lalu. Tersebutlah seorang ayah bersama putri remajanya, yang sedang berjalan keliling kampung di Tangerang mengisi waktu libur mingguannya. Sekira jam dua belas siang, sang ayah mendapat informasi bahwa listrik yang padam akan berlanjut setidaknya dua puluh empat jam ke depan. Itu artinya nanti malam mereka akan kegelapan karena tiada penerangan.
Sang ayah berinisiatif mampir ke toko kelontong, untuk membeli lilin guna penerangan malam harinya, sambil menginformasikan kepada anaknya, bahwa berdasarkan informasi resmi pemadaman akan terjadi minimal dua puluh empat jam ke depan. Sesuai berita tersebut, sang ayah berencana membeli setidaknya sekotak lilin berisi sepuluh batang.