Seorang pria muda, setiap hari di antara pukul lima pagi sampai sekitar pukul tujuh, berkeliling secara rutin berjualan es batu. Pelanggannya para pemilik warung di sekitar perumahan kabupaten Tangerang. Si pria tersebut hanya mengantarkan es batu dalam kemasan plastik kepada para pelanggannya, dan menerima pembayaran untuk pembelian kemarin harinya, dan pembayaran pembelian hari itu diterima keesokan harinya, berbarengan dengan pengantaran es batu selanjutnya.
Demikianlah rutinitas tersebut dilakukan hari demi hari, minggu demi minggu dan bulan demi bulan. Tak terasa pekerjaan tersebut telah dilakoninya sejak anaknya duduk di bangku TK, dan saat ini anak pertamanya sudah duduk di bangku sekolah dasar kelas enam.
Pria tersebut, sejatinya bukanlah penjual es batu semata, melainkan seorang pekerja di sebuah perusahaan di pinggiran Jakarta. Sang istri, juga merupakan seorang pekerja di perusahaan swasta di seputaran Tangerang. Setiap pagi, sepasang suami istri tersebut, bangun jam setengah lima. Kemudian sang istri menyiapkan bekal dan kebutuhan kedua anaknya yang akan berangkat sekolah.
Sambil menunggu sang istri menyiapkan anak-anaknya, suami tersebut berkeliling mengantarkan es batu yang telah dibuatnya sepulang kerja kemarin harinya, hingga pukul enam lewat. Selanjutnya ia pulang dan mengantarkan kedua anaknya ke sekolah yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Usai urusan anak, mereka berangkat bekerja berdua dengan berboncengan sepeda motor, sambil sebelumnya menyerahkan beberapa urusan rumah tangga kepada pembantunya yang juga bertugas menjemput dan mengurusi kebutuhan anaknya sepanjang siang hingga senja hari.
Dari kegiatan sampingannya tersebut, setiap hari sang pria memeperoleh keuntungan bersih sekitar lima puluh ribu rupiah, yang jika dikalikan tiga puluh hari dalam sebulan maka setidaknya ia mengantongi sejuta lima ratus ribu rupiah.
Kini dari hasil penjualan es tersebut, sang pria mampu membeli kios ukuran sedang seharga dua ratus juta rupiah, yang karena saat ini ia masih terikat pekerjaan di perusahaan, kios tersebut disewakan kepada orang lain. Dan sang pria tekun tersebut, masih saja setia kian kemari menekuni pekerjaan sambilannya berdagang es batu. Entah sampai kapan.
Sebuah keluarga lain, yang terdiri dari suami lulusan sarjana dan istri tamatan SMA, memulai hidup di Tangerang. Sang suami bekerja di bagian umum sebuah perusahaan kecil dan istri bekerja di sebuah distributor produk makanan dan minuman. Keduanya sepakat untuk membina karir demi lepas dari kecemasan akan masa depan. Setahun setelah menikah, sepulang kerja si suami mengikuti kuliah S2 di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.
Dua tahun setelah menikah, lahir anak pertama, di tengah hidup prihatin karena harus membiayai kuliah S2 sang suami, dengan gaji minimum yang mereka peroleh setiap bulan. Saat anak pertama berusia setahun, berbekal ijazah S2 sang suami diterima mengajar di perguruan tinggi swasta setempat, khusus untuk kelas malam, sepulang bekerja di pabrik. Sang istri mulai kuliah malam untuk jurusan ilmu hukum.
Dilanjutkan dengan pasca sarjana kenotariatan lima tahun setelah lulus strata satu, karena begitu sang istri lulus S1 sang suami harus mengambil jurusan ilmu hukum juga, jadi biaya kuliah dialokasikan ke suami dulu. Untuk kuliah S2 pun sang istri melakukannya pada hari Sabtu dan Minggu, sehingga tidak harus meninggalkan pekerjaannya di perusahaan distributor tempatnya mencari nafkah, yang seluruh gajinya harus direlakan habis untuk membiayai kuliahnya.
Dua puluh tahun kemudian, keluarga tersebut masing-masing memiliki karir sendiri, setelah sekian puluh tahun bekerja siang malam sambil mendidik dua anak semampu mereka. Sang istri memiliki kantor sendiri dan beralih profesi menjadi notaris, dan sang suami tetap setia mengajar dan bekerja di perusahaan sambil berpraktek menjadi advokat.
Di tengah kesibukan kedua orang tuanya, kedua anak mereka ternyata juga memiliki prestasi yang lumayan di sekolahnya. Kini keduanya kuliah di perguruan tinggi negeri yang cukup ternama di Depok dan Bandung.