Lihat ke Halaman Asli

Tito Tri Kadafi

Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Sekolah Semestinya: Kumpulan Praktik Baik Toleransi untuk Diadaptasi

Diperbarui: 27 Oktober 2022   14:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Vstory

Kurikulum Merdeka dengan gagasan Profil Pelajar Pancasila bak nyala api di tengah temaramnya semangat toleransi beberapa sekolah di Indonesia. Meski begitu, implementasinya belum dibarengi dengan keterampilan pendidik dan sekolah dalam mengembangkan praktik yang efektif. Lantas bagaimana sekolah semestinya?

Seperti petir di siang bolong, jeritan intoleransi dan ekstremisme makin sering dijumpai di Indonesia, termasuk di sekolah. Melansir hasil survei SETARA Institute, dalam konteks keberagaman, pelajar amat rentan menjadi korban pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Pemeringkatan tersebut menempatkan pelajar di posisi 4 paling rentan setelah warga, individu, dan umat Kristen.

Sekolah semestinya jadi ruang yang mengajarkan inklusivitas. Bukan nihil ataupun anomali, beberapa sekolah di Indonesia memang belum amat fokus pada pembahasan ini. Agustus silam, paling tidak terdapat sepuluh dugaan kasus intoleransi di sekolah negeri di Jakarta sejak 2020 yang belum terselesaikan. Mayoritas kasus tersebut berkutat pada pemaksaan pemakaian jilbab bagi siswi non-Muslim, hingga murid Hindu dan Buddha yang dipaksa mengikuti pelajaran Kristen Protestan.  Belum lama setelah kasus-kasus itu hangat lagi, di bulan yang sama sebuah sekolah di Bantul juga melakukan tindakan pemaksaan penggunaan jilbab yang turut melibatkan pemerintah setempat dalam penyelesaiannya.

Deretan kasus tersebut tentu tidak sejalan dengan berbagai mandat dalam skala nasional ataupun internasional. Jika dikaitkan dengan Sustainable and Development Goals (SDGs) yang diamanatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa, kasus di atas menjadi kontradiksi dengan poin ke-16 SDGs, yang menyuratkan untuk menguatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan. Sekolah sebagai hal fundamental menjadi dimensi penting dalam penguatan ini. Selain memiliki massa yang banyak, warga sekolah khususnya murid merupakan masa depan Indonesia.

Tiap bangsa sudah barang tentu mengharapkan perdamaian. Perwujudan itu amat mungkin dicapai. Sebuah data dari IDN Research Institute mengenai perilaku toleransi di kalangan milenial Indonesia, menunjukkan bahwa anak muda Indonesia lebih optimis dalam memelihara toleransi terhadap sesama, dan cenderung punya satu misi yang sama untuk mengejar mimpi membangun persatuan Indonesia. Mereka dapat mendengarkan dan menerima perbedaan pendapat atau ide teman, meskipun beberapa ada yang tidak setuju. Hasil tersebut menunjukkan optimisme sekaligus asa bahwa perdamaian di Indonesia bukan sekadar konsep, tetapi juga terealisasikan. Lantas, bagaimana sekolah perlu diciptakan?

Perjalanan dalam menciptakan sekolah toleransi di Indonesia dapat diadaptasi dari berbagai referensi. Pertama, Najeela Shihab, pendiri dari Sekolah Cikal, mengembangkan pendidikan berbasis kompetensi dan karakter. Mengutip dari cikal.co.id yang dimaksud dengan pendidikan berbasis kompetensi dan berkarakter adalah kompetensi dalam pendidikan bukan hanya sekedar menjawab soal ujian, tetapi juga kemampuan murid untuk melakukan aksi, mendemontrasikan apa yang sudah dipelajari dalam berbagai situasi yang baru, dan memecahkan permasalahan dalam kehidupan.

Lebih lanjut, murid dalam implementasi pembelajaran berbasis karakter dan kompetensi diharapkan melakukan beberapa tahapan mulai dari perencananan, pelaksanaan hingga evaluasi yang mendorong keterampilan berpikir. Hal ini didasarkan pada setiap murid seharusnya memahami tak hanya mencapai kompetensi, tetapi juga harus menguasai materi, memiliki pengetahuan, dan mempunyai pemahaman esensial sebelum melangkah dan mempraktikkan apa yang diketahui dan dipahaminya dalam kehidupan. Najeela menekankan karakter merupakan bagian sangat penting dari pengembangan kompetensi. Dalam hal ini Najeela bersama Sekolah Cikal telah mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi dan karakter yang dinamakan 'Kompetensi 5 Bintang Cikal' atau atau kurikulum untuk mempersiapkan anak-anak untuk menghadapi masa depan.

Praktik baik lainnya juga dapat kita pelajari dari gerakan bernama SabangMerauke, yang merupakan akronim dari Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali. Komunitas ini mengamanatkan bagaimana toleransi tidak cukup jika hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan. Konsep sederhana ini berangkat dari cita-cita gerakan untuk mewujudkan indonesia menjadi negeri yang lebih damai dan toleran dengan membawa tiga nilai utama, yaitu tentang toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan. Basis gerakan ini sejak awal merupakan program pertukaran pelajar yang melibatkan siswa SMP dari berbagai daerah di Indonesia dengan beragam suku dan agama, untuk tinggal selama 20 hari bersama seorang Kakak (mahasiswa di Jabodetabek) dan Famili (Keluarga angkat di Jabodetabek).

SabangMerauke berpedoman pada modul 12 Nilai Perdamaian dalam menjalankan programnya, di antaranya adalah penerimaan diri (proud to be me), menjauhi prasangka (no suspicion, no prejudice), dan memahami keberagaman yang ada sebagai indahnya perbedaan (the beauty of diversity). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline