"Kebohongan yang sering dan berulang-ulang disampaikan akan menjadi sebuah kebenaran" - (Joseph Goebbels)
Lini masa Instagram saya berubah penuh, berisi tutorial pembuatan makanan. Kondisi yang mengharuskan saya untuk tetap di rumah, menyisakan banyak waktu yang kemudian digunakan untuk berselancar di media sosial. Entah cerah atau hujan, lini masa saya tetap sama keesokannya.
Seolah menjadi yang paling tahu tentang resep, saya selalu membagikannya kepada orang lain, meski saya sendiri tak hobi masak. Lambat laun tersadarlah bahwa selama pandemi, saya tak tahu informasi apa-apa selain resep-resep ini. Belum lama saya tahu bahwa filter bubble lah yang telah membelenggu saya.
Filter bubble merupakan gelembung virtual penyaring informasi yang didapatkan seseorang dalam bermedia sosial. Aktivis internet, Eli Pariser mengemukakan istilah ini 9 tahun silam. Baginya, algoritma media sosial seperti ini akan membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Tidak terlepas bagi para mahasiswa di Indonesia.
Pandemi koronavirus bukan saja mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak ataupun tetap di rumah, namun turut mengubah tatanan cara belajar, yang semula bertatap muka, beralih ke penggunaan model pendidikan jarak jauh. Cara ini paling tidak meminta setiap pembelajar mengaktifkan gawai untuk mendapatkan akses belajar.
Pengaruh perubahan ini bukan saja berdampak pada segi ekonomi -- harus menyediakan kuota internet lebih, namun berkorelasi juga pada perubahan perilaku para mahasiswa.
Melansir dari data olahan Asosiasi Pengguna Jasa dan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018, kalangan milenial usia 20-35 tahun -- rata-rata usia mahasiswa, 94,4 persen di antaranya telah terkoneksi internet, dan 98,2 persennya memiliki rata-rata penggunaan ponsel pintar selama 7 jam dalam sehari.
Riset ini dilakukan jauh sebelum pandemi terjadi, sehingga akan timbul kemungkinan besar peningkatan penggunaan ponsel pintar dalam sehari. Belum lagi dengan jadwal kuliah yang tentatif, memungkinkan tiap mahasiswa harus siap sedia dengan ponsel dari pagi ke petang, pun petang ke pagi. Hal yang sama berimplikasi pada intensitas penggunaan media sosial, sebagai sarana mencari informasi atau sekadar menghibur diri di tengah pandemi.
Media sosial adalah rumah dengan banyak pintu. Setiap orang punya preferensi untuk menentukan hendak ke mana ia menuju. Algoritma media membaca sesuatu yang diminati seseorang, sehinggga siapapun bisa dimanjakan oleh keadaan.
Filter bubble bukan saja menjadi penyaring, dengan harapan seseorang bisa fokus pada minatnya. Bak penjara semu, mahasiswa sang pengguna media sosial telah terjebak di dalamnya. Namun, siapa yang sadar?