Lihat ke Halaman Asli

Tito Tri Kadafi

Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Potret Gusuran: Mengkaji Bunga dan Tembok Wiji Thukul

Diperbarui: 26 Juni 2020   14:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Gramedia Digital

Desa Kedung Ombo, 1985. Hari-hari di tahun tersebut bukan saja menjadi hari yang paling sibuk bagi mereka yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani, namun juga jadi hari paling emosional bagi ribuan kepala keluarga, atas wacana penggusuran tempat tinggal mereka oleh pemerintah untuk pembangunan waduk. 

Pemerintah dalam hal ini adalah pihak yang bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas pembangunan yang dilakukan. (baca: Tirto.id) Alangkah kepalang, boro-boro untuk ganti rugi, pembicaraan pun tak kunjung disampaikan kepada mereka yang akan tergusur, di sisi lain pemerintah daerah sudah main pasang harga untuk tanah yang hendak dilakukan pembangunan -- yang pastinya memakan korban, ribuan kepala keluarga harus rela pindah dari tempat yang bertahun-tahun telah mendewasakan mereka. 

1986 silam, menyebrang sejenak ke Pulau Sumatra. Seluas 20 ribu hektar lahan dilepaskan oleh pemerintah untuk diberikan hak guna usaha (HGU) kepada PT Bangun Desa Utama (PT BDU), salah satu perusahaan kelapa sawit di Jambi, yang belakangan berganti nama menjadi PT Berkat Sawit Utama. 

Di dekat tanah tersebut, sekitar 3.550 hektar lahan merupakan kepemilikan masyarakat Suku Anak Dalam yang tak lama setelahnya dilakukan penggusuran. (baca: CNN Indonesia) Tak kunjung selesainya kasus ini membuat masyarakat setempat mengadakan aksi berjalan kaki hingga Jakarta, pada tahun 2019 lalu untuk menuntut keadilan.

Dua kasus di atas adalah realitas sosial yang terjadi pada pemerintahan Orde Baru. Kasus tersebut hanya sedikit contoh dari banyaknya pelik yang dihadapi masyarakat pada era terdahulu. Meski dianggap riskan, pelik ini tidak melulu mematikan upaya rakyat untuk bersuara -- walaupun sejarah membuktikan kalau memang kemerdekaan aspiratif dibungkam. 

Wiji Thukul adalah seorang yang cukup vokal untuk bersuara di masa itu. Thukul, salah satu penyair yang keberadaannya dianggap mengancam eksistensi pemerintah pada masa itu, turut menyuarakan mengenai kasus penggusuran. Bunga dan Tembok adalah salah satu puisinya yang membicarakan tentang hal ini. Ia menganalogikan nomina bunga dan tembok untuk mengiaskan masyarakat dan pemerintah. 

Si Penyair Pelo, begitu julukan penyair yang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Thukul lahir di Solo, 26 Agustus 1963.

Sejak kecil, sosok Thukul dikenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika masih duduk di kelas satu di SMP Negeri 8 Solo, ia aktif menjadi anggota kor kapel di gereja tempatnya biasa beribadah. Wahyu Susilo, adik Wiji Thukul, menuturkan bahwa kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran menyanyi di kor. 

Jiwa sosial juga lekat pada diri Thukul. Pada tahun 1994, ia bersama rekan-rekan senimannya mendirikan organisasi jaringan kesenian bernama Jaker (Jaringan Kesenian Rakyat). Organisasi yang berpihak kepada rakyat dalam upaya penyelesaian permasalahan sosial ini, dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antarseniman sebagai upaya menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah. 

Meskipun beberapa tahun kemudian, tepatnya pada April 1996, Semsar, Moelyono, dan Hilmar -- rekan-rekan Thukul yang turut mendirikan Jaker, memutuskan untuk tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker, setelah keputusan sepihak dari Thukul yang memasukkan Jaker pada afiliasi Partai Rakyat Demokratik (PRD), yaitu partai di mana Thukul bergabung di dalamnya setelah terjun ke dunia politik praktis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline