Lihat ke Halaman Asli

Kebangkitan Sepakbola Belgia: Sebuah Pelajaran Untuk Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dunia sepak bola Eropa sedang dikejutkan oleh kebangkitan tim nasional Belgia. Tim dengan julukan, "the red devils" ini telah bangkit dari kelas medioker menjadi kelas elit Eropa yang siap bersaing di Piala Dunia 2014. Sebagian besar pengamat Eropa bahkan memprediksi Belgia akan mampu membuat kejutan di Brasil nanti mengingat "menumpuknya" pemain berkualitas di skuad mereka.

Belgia telah siap untuk mengulang kembali masa keemasannya. Masa keemasan sepak bola Belgia terjadi terakhir kali hampir 33 tahun yang lalu ketika mereka berhasil menjadi runner up di Piala Eropa tahun 1980 dan menduduki peringkat 4 di Piala Dunia 1986. Setelah itu, prestasi negeri Tintin ini terus meredup. Mereka seringkali menjadi bulanan tim Eropa lain dan puncak kegagalan Belgia adalah ketika mereka mencetak 'rekor' menjadi tuan rumah Piala Eropa (di tahun 2000) yang harus langsung tersingkir di babak grup tanpa memenangi pertandingan satupun.

Akan tetapi, kini Belgia mulai bangkit dari keterpurukan. Di tingkat popularitas pemain, jika dahulu anda dipastikan kurang familiar dengan nama-nama pemain Belgia, kini nama-nama seperti Hazard, Fellaini, Verthongen, Mignolet, Courtouis dan Benteke pasti terdengar familiar di kuping anda. Di tingkat prestasi, jika dahulu Belgia sering menjadi juru kunci di grup penyisihan Piala Dunia kini mereka berhasil menjadi juara grup dengan selisih nilai yang jauh dengan mempencundangi negara kuat Eropa lain seperti Kroasia dan Skotlandia.

Kebangkitan sepak bola Belgia ini harus dijadikan inspirasi bagi PSSI, pelakon dan pecinta sepakbola nasional dalam memajukan sepakbola Indonesia yang sedang hancur lebur luar dan dalam. Berkaca kepada pengalaman Belgia, tentu suatu prestasi internasional tidak begitu saja jatuh dari langit melainkan ia harus melewati suatu proses, membutuhkan kesabaran dan komitmen bersama yang kuat untuk mencapai tujuan bersama, yaitu kemajuan sepak bola nasional, bukan kemajuan segelintir kepentingan kelompok tertentu.

Berikut adalah 3 poin penting dari kebangkitan sepakbola Belgia yang dapat dijadikan pelajaran bagi Indonesia (dirangkum oleh penulis dari berbagai sumber):

DNA PERMAINAN

Setelah menghadapi kegagalan yang memalukan di Piala Eropa tahun 2000, Technical Director Asosiasi Sepak Bola Belgia Michel Sablon memformulasikan "Rencana 10 Tahun" (10 year Plan) yang sebagian besar materinya berisikan bagaimana cara meningkatkan kualitas talenta sepak bola Belgia.

Inisiatif ini berhasil mensinergikan pendidikan sepakbola dari tingkat bawah (sekolah) hingga tingkat atas (senior). Pemain Belgia dari usia dini dibiasakan bermain dalam pola permainan 4-3-3. Mengapa pola 4-3-3 dipilih? ini karena keyakinan Michel bahwa filosofi sepakbola modern adalah menyerang, mempertahankan bola sebaik mungkin dan mendukung fleksibilitas antar pemain. Atas alasan inilah akhirnya mengapa pola 4-3-3 yang dipilih.

Namun, yang perlu ditekankan adalah bukan kepada pola permainan apa yang dipilih melainkan kepada keberhasilan Michel dalam menanamkan DNA 4-3-3 ke sepakbola Belgia di segala lini. DNA ini telah menjadi ciri khas permainan sepakbola Belgia, dan ini mempermudah adaptasi pemain ketika mereka harus menapak ke jenjang berikut karena di jenjang manapun anda berada anda dipastikan akan selalu memainkan sepakbola dengan cara yang sama.

Hal ini justru berbanding terbalik dengan sepakbola Indonesia. Di setiap tingkatan tim nasional, masing-masing memiliki corak permainan sendiri-sendiri. Corak permainan timnas U-19 mengandalkan umpan pendek, mempertahankan bola sebaik mungkin dan agresif merebut kembali bola. Sementara corak permainan timnas U-23 terlalu mengandalkan umpan panjang, mengandalkan kecepatan satu dua pemain dan kurang berani dalam menahan bola sebaik mungkin.

Perbedaan corak dari masing-masing jenjang ini dapat menghambat adaptasi seorang pemain dari U-19 ke U-23 nanti. Perbedaan ini dapat membuat mereka akan kurang maksimal karena dipaksa untuk bermain dengan gaya yang jauh berbeda dari yang mereka jalankan selama ini. Dengan demikian, seperti Belgia, Indonesia harus memiliki DNA permainan yang konsisten dijalankan dari tingkat junior hingga tingkat senior.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline