Lihat ke Halaman Asli

Kartini, UN, dan Pemberontakan Pendidikan

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Masa Ujian Nasional bersamaan dengan peringatan kelahiran tokoh wanita Indonesia, Kartini. Bukan tanpa alasan Kartini dijadikan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional pada tanggal 2 Mei 1964 dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 108 dan tanggal 21 April dijadikan sebagai hari Kartini. Kartini adalah pendobrak, pemberontak terhadap kondisi-kondisi yang menyebabkan dia dan kaum perempuan lainnya tidak bisa mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki.

Ketika berumur 12,5 tahun Kartini harus menerima kenyataan bahwa dia tidak boleh lagi meneruskan pendidikannya, tidak seperti kakak laki-lakinya. Kartini harus menerima kenyataan bahwa dia akan menjalani masa pingitan, di mana tembok-tembok keraton membatasi fisiknya. Hal ini tertulis pada suratnya kepada kawan-kawan Belandanya. “Gadis itu kini telah berusia 12,5 tahun. Waktu telah tiba baginya untuk mengucap selamat tinggal pada masa kanak-kanak. Dan meninggalkan bangku sekolah, tempat dimana ia ingin terus tinggal. Meninggalkan sahabat-sahabat Eropah-nya, di tengah mana ia selalu ingin terus berada”.

Dari tembok-tembok yang membatasi fisiknya itulah Kartini bermetamorfosa menjadi kupu-kupu yang terbang melintasi tembok keraton, bahkan dia terbang melampau masanya. Dia terbang menggunakan penanya, menuliskan gagasannya dalam lembaran-lembaran surat untuk teman-teman Belandanya. Yang kelak dari surat-surat itu terbitlah buku Door Duisternis Tot Licht (DDTL) atau dalam terjemahan bahasa Indonesianya Habis Gelap terbitlah Terang. Kartini terinspirasi oleh salah satu surat dalam Al-Qur’an yaitu surat Al Baqarah ayat 257 yang menerangkan bahwa Alloh-lah yang telah membimbing orang-orang beriman dari gelap menuju cahaya (Minadh dhulumaati ilan nuur).

Dari kumpulan surat-surat itu kemudian diketahui api perjuangan Kartini bagi kaum perempuan. Konstruk sosial menempatkan perempuan sebagai anggota masyarakat kelas dua. Kartini memberontak terhadap bangunan-bangunan sosial tersebut. “Mengapa kami ditindas? Itu membuat kami memberontak. Mengapa kami harus mundur? Mengapa sayap kami harus dipotong? Tak lain karena tuduhan dan fitnah orang-orang kerdil yang berpandangan picik”.

Tulisan-tulisan dari penanya terus menerus menggelorakan kegelisahannya. Kartini sadar bahwa seorang pejuang tidak harus selalu memetik hasil dari apa yang dia perjuangkan. Buah itu mungkin akan dipanen oleh generasi-generasi yang datang setelah dia. Kebesaran hati seperti itu hanya dimiliki oleh pejuang, itulah yang membedakannya dengan orang pada umumnya.“… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.” (Surat R.A. Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902-DDTL, hal. 214). Maka tidak aneh kalau seorang pejuang sampai harus merelakan nyawanya untuk sebuah perjuangan. “… andaikata aku jatuh di tengah-tengah perjalananku, aku akan mati bahagia, sebab bagaimanapun jalannya telah terbuka, dan aku telah ikut membantu membuka jalan itu yang menuju kepada kemerdekaan dan kebebasan Wanita Jawa”.

Hanya dengan pendidikanlah wanita bisa terbebas dari jeruji-jeruji sosial yang sudah dibangun untuk mereka. Dalam suratnya Kartini ingin menjadi guru, pendidik. Secara alamiah wanita ditakdirkan untuk menjadi guru khususnya bagi anak-anaknya. Dari tangannya anak-anak belajar berbicara dan bertindak, mendapatkan pengetahuan, membedakan kebaikan dan keburukan. “Siapakah yang akan menyangkal bahwa wanita memegang peranan penting dalam hal pendidikan moral pada masyarakat. Dialah orang yang sangat tepat pada tempatnya. Ia dapat menyumbang banyak (atau boleh dikatakan terbanyak) untuk meninggikan taraf moral masyarakat. Alam sendirilah yang memberikan tugas itu padanya”.

Pemberontakan UN

Kartini adalah seorang pemberontak terhadap sistem pendidikan di jamannya yang hanya untuk kaum pria. Sekarang pendidikan bisa diperoleh bukan hanya oleh pria, wanita juga punya kesempatan yang sama. Sistem pendidikan nasional memberikan hak yang sama tanpa mempermasalahkan jenis kelamin.

Sistem pendidikan nasional masih mengharuskan siswa untuk melaksanakan Ujian Nasional sebagai salah satu syarat kelulusan. Walapun sekarang UN tidak lagi menjadi satu-satunya faktor penentu kelulusan, bagi sebagian orang, UN tetap menjadi momok yang menakutkan karena UN menyedot begitu banyak perhatian. Proses pembelajaran di sekolah diarahkan agar para siswa mampu menjawab soal-soal yang ada di UN. Sekolah akan berusaha agar para siswanya mendapatkan nilai yang tinggi karena hal itu terkait dengan reputasi sekolah di masyarakat.  Orang tua siswa dipusingkan dengan kegiatan-kegiatan ekstra seperti les tambahan bagi anaknya, try-out UN atau kegiatan tambahan lain untuk menghadapi UN yang semuanya membutuhkan biaya. Seolah-olah proses pembelajaran di sekolah tidak berdampak apa-apa terhadap siswa. Para siswa jauh lebih terbebani dengan UN karena mereka tidak punya waktu untuk bermain, semua kegiatannya berujung pada UN. Tuntutan bahwa mereka harus bisa menjawab soal-soal UN dengan baik dan mendapatkan nilai tinggi datang dari sekolah, dari lingkungan, bahkan dari orang tuanya sendiri. Sehingga tak jarang, seorang siswa tidak nyaman berada di sekolah bahkan bertatap muka dengan orang tuanya juga menjadi menakutkan.

Dengan kondisi di atas, tidak heran jika ada orang-orang yang ingin memberontak terhadap Ujian Nasional seperti Kartini memberontak terhadap ketidakadilan pendidikan di jamannya. UN menjadi simbol penindasan terhadap para siswa, orang tua siswa, sekolah, dan masyarakat. Alih-alih membebaskan, pendidikan malah menjadi alat penindas melalui tangan UN. Maka, bagi orang yang berpikiran demikian, UN harus dihapuskan atau kalaupun masih dilaksanakan UN harus gagal dalam pelaksanaannya.

Beredarnya soal UN secara bebas pada UN SMA tahun ini yang dilaporkan oleh siswa SMA di Jogja bisa dimaknai sebagai sebuah pemberontakan terhadap UN. Ada beberapa makna yang bisa ditarik dari kasus tersebut. Pertama, merusak legitimasi hasil UN. Dengan soal UN yang sudah beredar luas dan sebagian siswa sudah mengetahui soal tersebut, penyebar soal UN mengirimkan pesan bahwa hasil UN tidak bisa dijadikan tolok ukur kualitas pendidikan nasional karena tercemar oleh soal yang bocor. Kedua, merusak kesakralan UN. Soal-soal UN masuk dalam kategori rahasia negara. Maka dalam distribusinya harus sedemikan ketat agar rahasia itu tidak bocor. Dengan melibatkan berbagai pihak dari sekolah, dinas pendidikan, kepolisian, dan pihak lain, distribusi soal diharapkan aman. Ketiga, UN tidak berharga. Soal UN disebarkan secara luas melalui internet dan siapa saja bisa mengunduhnya tanpa harus membayar sepeserpun. Dengan dana UN yang begitu besar yang harus dikeluarkan pemerintah, penyebar soal di internet memberikan pesan bahwa persiapan UN yang begitu lama dan memakan dana begitu besar ternyata hanya seharga satu (1) kali klik. Keempat, ketidakpercayaan terhadap UN. Mengganggu proses UN dengan cara menyebarkan soal UN di internet merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap UN. Yang lebih parah lagi kalau kasus ini merupakan bentuk ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan yang ada yang berarti pula ketidakpercayaan terhadap yang merencanakannya yaitu pemerintah.

Sebagaimana Kartini yang memberontak terhadap sistem pendidikan pada masanya, penyebaran soal UN mungkin juga sebagai bentuk pemberontakan terhadap sistem pendidikan sekarang. Kalau Kartini sadar bahwa perjuangannya tidak serta merta bisa dipetik hasilnya pada saat itu juga, penyebar soal UN mungkin juga sadar bahwa apa yang dilakukannya, hasilnya tidak akan didapat pada saat ini, mungkin bertahun-tahun kemudian.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline