Lihat ke Halaman Asli

Mengais Kejujuran

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Suatu pagi setelah pengajian mingguan di kampung kami, anak-anak bermain dengan sebayanya. Anak-anak laki-laki bermain mobil-mobilan. Di tengah permaian itu terjadi dialog gaya anak-anak. “Yuk, main di tempatku saja,” Raka mengajak teman-temannya. Raka meminta “Afif, nanti kalau ditanya bapakku mobil-mobilan ini milik siapa, kamu bilang bahwa mobil-mobilan ini punyamu ya!” “Jangan, mobil-mobilan ini kan milikmu, ndak usah bohong” jawab si Afif. “Ya sudah, ayo kita main” Raka menjawab. Lalu bermainlah mereka.

Bagi anak-anak kejujuran bukanlah hal yang rumit. Kejujuran bagi mereka sesederhana mereka bermain mobil-mobilan. Ketika sesuatu itu tidak pas mereka akan mengatakan bahwa itu tidak pada tempatnya. Mereka tidak punya kepentingan apa-apa ketika mereka berkata bahwa itu bohong, tidak jujur.

Tidak seperti orang dewasa yang sudah begitu banyak memiliki kepentingan-kepentingan. Kejujuran menjadi barang dagangan yang harus dihitung untung ruginya. Kita bisa melihat ketidakjujuran di sekitar kita, misalnya membuang sampah tidak pada tempatnya adalah hal yang tidak benar dan orang dewasa dengan pengetahuannya tahu tentang hal itu. Ketika mereka harus melakukannya hal itu begitu berat. Maka tidak heran jalanan di sekitar kita bukan menjadi “jalan adalah taman terpanjang” seperti yang tertulis di jalan Jogja-Solo tapi “Jalan adalah tempat sampah terpanjang” (www.kompasiana.com/titissetyabudi). Membuang sampah pada tempat sampah adalah hal yang sederhana, tapi untuk sebagian besar orang ketika akan melakukannya, hal itu menjadi rumit. Coba amati di sekitar kita, ketika pagi menjelang sambil berangkat bekerja, berangkat ke kantor ada saja orang-orang yang tidak hanya membawa tas kerja tapi juga membawa tas plastik yang berisi sampah untuk dibuang di pinggir jalan atau sungai yang mereka lewati. Itu dilakukan oleh siapapun dari orang biasa samapai mereka yang berseragam. Yang lebih parah lagi ada yang melakukannya dengan mengajak anaknya.

Seorang perokok tidak pernah menaruh abu rokok dan puntung rokoknya di kantong bajunya untuk nanti dibuang ke tempat sampah karena ketika merokok tidak ada asbak. Mereka akan memilih membuang abu dan puntung rokoknya dimana saja dari pada menyimpannya sebentar untuk nanti dibuang pada tempatnya.

Tidak usah muluk-muluk negara kita akan terbebas dari korupsi atau pencurian uang negara atau sumber kekayaan negara yang lain karena kita sebenarnya melakukannya setiap hari. Ketidakjujuran adalah korupsi. Dalam berbagai bentuknya, sebenarnya kita bisa melihat korupsi di setiap sisi kehidupan kita. Mulai dari membuang sampah, mengawali rapat, mengerjakan ujian, mendidik anak, dan kegiatan yang lain.

Mungkin hanya anak-anak pada dialog di atas yang punya kejujuran atau negara ini perlu dipimpin oleh anak-anak bukan orang dewasa yang sudah terlalu banyak terkontaminasi oleh berbagai kepentingan. Para hakim diganti oleh anak-anak yang bisa mengatakan secara lugas bahwa si fulan bersalah, si fulan berbohong. Tidak seperti sekarang, orang-orang dibuat bingung oleh para hakim yang sebagian mengabulkan praperadilan sebagian lain menolaknya.

Mungkin negeri ini perlu anak-anak jujur itu untuk duduk di pemerintahan seperti Peter Pan di Neverland karya James Matthew Barrie penulis kelahiran Skotlandia itu. Cerita yang ditulis diawal abad 20 itu begitu popular, cerita tentang anak-anak yang tidak pernah beranjak dewasa dengan keluguan, kepolosan, dan kejujurannya. Sebuah cerita satire seratus tahun yang lalu yang bertujuan untuk mengkritik orang dewasa yang begitu rumit untuk mengatakan dan melakukan kejujuran.

Sudah saatnya orang dewasa belajar dari anak-anak. Anak-anak telah mengajari orang dewasa bagaimana kejujuran itu sebenarnya, jujur itu sederhana. Anak-anak adalah guru dari para orang dewasa seperti yang ditulis oleh William Wordsworth dalam puisinya My Heart Leaps Up. Baris ketujuh puisi tokoh romantisme Inggris ini menyatakan The Child is father of the Man. Atau seperti apa yang Angela Schwindt katakan, “While we try to teach our children all about life, our children teach us what life is all about.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline