Lihat ke Halaman Asli

Telanjang Karena Calon Presiden

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu sore menjelang buka bersama di Mushola RT seorang warga yang baru pulang kerja dan masih berseragam kerja langsung bergabung dengan warga lain yang sudah ada di Mushola menanti saat berbuka puasa. Sambil menunggu buka, dimulailah obrolan ringan khas bapak-bapak. Warga yang baru pulang kerja tadi bercerita bahwa dia dibuntuti beberapa orang ketika melewati sebuah kampung basis pendukung calon presiden tertentu. Dia baru sadar mengapa dia dibuntuti beberapa orang tersebut. Ternyata seragam kerjanya mirip dengan pakaian yang selalu dipakai oleh calon presiden tertentu yang berseberangan dengan orang yang membuntutinya. Akhirnya dibiarkan lewat karena seragam yang mirip dengan pakaian calon presiden itu tidak ada lambang tertentu, polos. Maka warga lain yang ikut ngobrol menyarankan untuk memakai jaket. Ada juga yang lain mengusulkan sambil berseloroh, “sesuk yen liwat kono udo wae, besuk kalau lewat situ telanjang saja,” yang disambut tawa oleh warga lain.

Pemilihan presiden memang memberi efek yang bermacam-macam ke berbagai aspek kehidupan bermasyarakat. Semua ranah kehidupan masyarakat tidak lepas dari hiruk pikuk Pilpres. Ada yang menaggapinya dengan adem ayem, ada pula yang rela mengorbankan nyawanya untuk calon presiden pilihannya. Deklarasi-deklarasi dukungan kepada calon presiden terus mengalir. Tidak hanya berhenti di dunia nyata, dunia maya tidak kalah ramai, kalau tidak mau dikatakan runyam. Setiap ada berita tentang calon presiden selalu ramai dikomentari dalam waktu yang singkat, komentar mendukung maupun berseberangan, dari komentar yang santun maupun yang menjatuhkan, dari komentar spontan maupun komentar robot. Tapi ada juga yang memberi komentar jengah dan mengundang tawa karena dua kubu pendukung capres selalu berkomentar negative. Contoh komentar jengah dan mengundang tawa : “rasah gontok-gontokan……siapapun presidennya minumnya tetap…..teh botol” atau “pilih saja no.3 Persatuan Indonesia.”

Komentar yang bernada canda tersebut adalah respon cerdas dari warga negara yang tidak mau terkotak-kotak oleh sekat-sekat yang akan membuat masyarakat semakin mudah tersulut konflik. Tapi warga yang demikian jumlahnya tidak banyak, yang banyak adalah warga yang lebih menggunakan perasaannya (sensibility) dari pada akal sehatnya (sense). Maka yang terjadi adalah rasa curiga yang berlebihan diantara warga negara dan masyarakat seperti contoh di atas. Kebanggaan yang berlebihan terhadap pilihannya yang didasari oleh ikatan emosi (pride) mengalahkan semangat kebersamaan dan kerukunan yang kemudian menghasilkan su’udzon atau buruk sangka kepada pihak yang berseberangan (prejudice).

Dengan adanya Pilpres masyarakat semakin terkotak-kotak. Padahal kotak-kotak yang menyekat masyarakat sudah sedemikian banyak. Identitas di satu sisi menjadi penanda keberadaan seseorang, disisi yang lain dia menjadi penyekat dari orang lain, di mulai dari nama, kemudian peran di keluarga, peran di masyarakat, agama, lingkungan tempat tinggal, pekerjaan, pilihan politik dan identitas-identitas yang lain yang semakin membuat orang tersekat-sekat. Maka tidak heran konflik terbuka mudah sekali terjadi di tengah masyarakat yang punya begitu banyak identitas ditambah dengan penggunaan nalar sehat yang masih kurang.

Bagi orang-orang yang tidak gampang terseret arus, orang-orang yang tercerahkan, mereka selalu merindukan kehidupan yang rukun penuh kedamaian. John Lennon berimajinasi dalam lagunya imagine seandainya orang-orang bisa melihat lebih jernih menembus identitas-identitas yang hanya sebagai sandangan, pakaian, maka mereka akan menemukan rahasia ilahi tentang tercipatanya manusia yang berbeda-beda. Ebiet G. Ade (Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far) juga mengungkapkan kerinduannya agar manusia saling mengasihi karena sebenarnya mereka sama. Dalam lagu Untuk Kita renungkan Ebiet mengatakan kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin.

Boleh saja pakaian kita berbeda, berwarna-warni, atau identitas yang tidak sama, pilihan calon presiden yang berlainan, itu semua hanya sandangan untuk memperindah tubuh. Sejatinya kita sama kalau kita mau telanjang sebentar. Keluar dari tubuh kita, keluar dari identitas-identitas kita untuk melihat kita masing-masing kemudian masuk ke raga kita lagi dengan memberikan makna yang baru bagi kita nampaknya harus kita lakukan agar kita tidak gampang terjebak oleh sekat-sekat yang mungkin kita bikin sendiri, atau oleh masyarakat, bahkan oleh calon presiden.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline