Lihat ke Halaman Asli

Titin Widyawati

Pengamat Kehidupan

Berkah

Diperbarui: 12 Oktober 2023   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Ia manusia biasa seperti pada umumnya. Makan, minum, dan tidur ketika malam bertandang. Beberapa orang menjulukinya sebagai sesosok manusia luar biasa. Sementara waktu berdesis bahwa ia tak memiliki apa-apa kecuali seutas senyum yang diobral percuma di jalan-jalan kampung.

Jika kau berjalan dua belas kilo meter sepanjang hari, tentu saja dahaga dan keringat bertempur menyiksamu, maka tidak dengannya, ia tidak menjadikan semua bulir keringat di tubuhnya sebagai simbol peperangan terhadap kehidupan, ia justru menjadikan mereka sebagai pondasi yang mengukuhkan kehidupan keluarganya. Siapa pun akan menatapnya miris, ia mendorong sepeda tua bututnya, menuruni dan mendaki lereng gunung menuju perkampungan tetangga. Tidak cuma-cuma mengisi waktu olahraga, ia melakukannya sebab memenuhi tanggungjawab sebagai seorang Ayah.

"Kenapa tidak pensiun dari pekerjaan itu, Pak?" seorang mahasiswa pernah mengajukan pertanyaan di bawah atap warung kelontong yang sudah tidak menampakkan kehidupan.

Lelaki itu tersenyum manis, memamerkan sederet gigi tidak rapinya. "Hidup merupakan perjuangan demi mendapatkan cinta, baik dari pemilik kerajaan langit, juga kerajaan duniawi."

Jika kau pahami kalimat yang ia ungkapkan, kau mampu menebak bahwa orang tersebut adalah orang yang berpikir cerdas, sebagaimana kesimpulan mahasiswa.

Pemuda itu merekatkan ranselnya, mengembuskan napas perlahan. September hujan masih berderai di muka bumi, ia tak membawa jas hujan, terpaksa menyingkir ke tepian, berteduh di warung yang telah mati. Itulah pertama kalinya ia bertukar sapa dengan lelaki tua, hingga hari-hari selanjutnya. Ia sering melihat punggungnya mendorong sepeda di tanjakan, jemarinya menggenggam kuat-kuat sepedanya agar tidak terjun bebas di jalan turunan. Lelaki itu dijadikannya simbol perjuangan, namanya akan dikenang sebagai seorang pahlawan.

"Apa kau tidak pernah merasakan lelah, Pak?"

"Kenapa aku harus lelah, Nak? Setiap hari aku melihat senyum anak-anakku mekar, melihat mereka makan dan mampu bergerak di alam luar sesuai yang mereka harapkan dengan jerih payah keringatku, tentu saja aku tidak punya alasan untuk bermalas-malasan dengan kata lelah, Nak. Seharusnya aku yang bertanya kepadamu, pernahkah kau melihat orangtuamu berhenti bekerja? Sekali pun mereka berwajah lesu?"

Pemuda itu diam, ia hanya tersenyum, melambaikan tangan lantas meninggalkannya sendirian.

Setiap hari, tidak pernah ia alpa menuntun stang sepedanya dengan penuh ketulusan. Ia menjadikan caping sebagai pelindungnya dari terik matahari. Jika langit meruntuhkan buliran air hujan, maka plastik keresek akan dipakainya untuk melindungi kepalanya. Seringkali kaos oblong kusam yang dikenakan, sandal jepit yang semakin menipis, juga celana panjang yang lutut kirinya robek, entah termakan tikus kelaparan, atau dimakan rentanya zaman. Pekerjaannya sederhana, mendorong sepeda dengan beban cairan di punggung sepeda yang diletakkan di dalam keranjang. Cairan-cairan itu penyemangat manusia-manusia yang diserang lelah, penyembuh penyakit orang kampung, pengusir nyeri di otot sebab bekerja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline