Semester Genap hampir berakhir, namun saya mendapatkan kejutan berharga dari siswa, ketika saya menanyakan pertanyaan pemantik "Apa arti kedaulatan bagi NKRI?". Seluruh kelas yang awalnya antusias tiba-tiba hening dan saling menatap satu sama lain. Kemudian saya ulangi pertanyaan yang sama dan ada satu siswa yang mengangkat tangan dan berkata, "Bu, kedaulatan itu apa?". Saya masih berpikir positif oh mungkin karena kemarin sempat mengalami belajar di rumah sehingga kosa kata siswa saya masih terbatas. Kemudian saya memaparkan beberapa contoh kasus sengketa wilayah perbatasan Indonesia baik dari sengketa kepulauan Sebatik, Sipadan Ligitan, Ambalat dan tentu saja Natuna. Ada hal yang menarik ketika salah satu siswi bertanya, "Bu, Pulau Natuna itu memang ada ya?". Sebagai guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ini menjadi cambukkan kuat dan refleksi apakah selama ini saya sudah mengajar dengan benar?. Jangankan permasalahan kedaulatan NKRI bahkan pulau-pulau di Indonesia saja mereka tidak tahu di mana letaknya. Sebelumnya saya ingin menggaris bawahi bahwa saya tidak menyalahkan atau mengoreksi pendidikan sebelumnya. Karena kita harus memahami bahwa daya tangkap masing-masing siswa tentu berbeda dan banyak faktor pendukung di dalamnya.
Sebagian dari kita pasti pernah berpikir seberapa pentingnya kita mempelajari konflik Natuna?. Apakah ketika kita melamar pekerjaan nanti akan ditanya terkait permasalahan Natuna?. Dengan melihat kondisi Indonesia saat materi Konflik Natuna ini masih layak untuk di tampilkan dalam materi pembelajaran peserta didik?. Alasan kenapa kita mempelajari Konflik Wilayah Indonesia khususnya Natuna adalah :
- Untuk mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI. Kita pernah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Bahkan konflik blok Ambalat juga masih belum menemukan titik temu. Jangan sampai kita juga kehilangan pulau Natuna yang sampai hari ini terjadi adu klaim antara Indonesia dan China. Yang mana Indonesia berpegang pada ZEE, sementara China menjadikan sembilan garis putus-putus atau nine dash line sebagai patokan yang menyatakan perairan Natuna masuk dalam wilayahnya. ZEE Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1983 yaitu Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang -Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Hal ini diperkuat oleh pasal 73 UNCLOS Indonesia sebagai coastal state (kewenangan negara pantai untuk membuat peraturan atau undang-undang tentang lintas damai, pencemaran, pengawasan imigrasi, bea cukai, quarantee dan lain-lain) memiliki hak untuk mengeksplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengontrol sumber daya alam pada wilayah ZEE. Pasal 58 UNCLOS 1982 tertulis bahwa negara-negara lain harus menghormati dan melaksanakan aturan yang diterapkan oleh Indonesia sebagai coastal state (Likaja & Bessie, 1988; Wahyuni, 2019). Dan inilah alasan kenapa Indonesia harus tetap mempertahankan Natuna.
- Menumbuhkan sikap Patriotisme, Sikap rela berkorban untuk membela tanah Air bukan hanya tugas TNI dan Polri tapi merupakan tugas bersama seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 27 ayat (3) UUD 1945:"Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara." Patriotisme tidak harus menggunakan senjata, kita bisa mengembangkan sikap patriotisme kita dengan melindungi Kepulauan Natuna. Kenapa Natuna harus dilindungi karena Blok Natuna D_Alpha, menyimpan cadangan gas dengan volume 222 Triliun Kaki Kubik, potensi gas yang recoverable atau yang dapat diperkirakan di Kepulauan Natuna sebesar 46 TCF (Triliun Cubik Feet) setara dengan 8.383 Miliar Barel Minyak. Total jika digabung dengan Minyak Bumi, terdapat sekitar 500 Juta Barel cadangan energi hanya di Blok tersebut kekayaan gas Natuna bernilai mencapai Rp. 6000 Triliun. Angka ini didapat dari asumsi rata-rata minyak selama periode eksploitasi sebesar USD 75/Barel dan Kurs Rp. 10.000,- per USD. Nilai kekayaan ini sangat besar jika dibandingkan dengan pendapatan Negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang hanya sekitar Rp.1.700 Triliun (Ruyat, 2017; Tampi, 2017). Yang artinya jika kita kehilangan Natuna kita akan kehilangan cadangan energi yang luar biasa banyak.
- Menumbuhkan rasa Cinta tanah Air. Ketika saya membaca buku yang berjudul Arkeologi perbatasan Natuna: perlintasan Budaya dan Niaga sebagai bahan referensi kebudayaan yang dimiliki Natuna, saya menemukan bahwa Natuna sebagai wilayah perbatasan tentunya menjadi tempat yang rentan akan persilangan kebudayaan. Namun disisi lain pariwisata dan baharinya memiliki potret yang tak bisa di kerdilkan. Natuna memiliki potensi sumber daya arkeologi yang dibuktikan dengan adanya kegiatan "memacok" oleh penduduk Natuna. Di mana kegiatan ini bertujuan untuk menggali barang antik, penemuan situs dan peninggalan sejarah yang sampai saat ini menjadi budaya adat di sana. Natuna Juga memiliki komoditi niaga dari gaharu, cengkeh, kopra dan karet. Natuna juga memiliki dendang yang berjudul Butir sagu "Penghalau lanun" yang mengisahkan tentang kehidupan masyarakat melayu Natuna dan masih banyak lagi. Natuna kaya akan budaya dan sudah sepantasnya kita bangga, mempelajari dan ikut mengenalkan kebudayaannya kepada masyarakat yang lebih luas lagi.
Kita memang tidak memiliki senjata untuk melindungi Natuna, namun kita bisa menjaga Natuna untuk tetap utuh menjadi bagian dari kedaulatan NKRI. Maka dari itu marilah kita semua tetap mempelajari dan mengamalkan arti penting kedaulatan ini bagi Indonesia. Kita merupakan satu kesatuan yang utuh, jadi menjaga satu sama lain dan bangga dengan kebudayaan yang dimiliki merupakan manifestasi cinta tanah air yang perlu dikembangkan untuk generasi muda saat ini.
Sumber referensi:
Harkantiningsih, N., & Geria, I. (2018). Arkeologi perbatasan Natuna: perlintasan budaya dan niaga.
Likaja, F. E., & Bessie, D. F. (1988). Hukum laut dan undang-undang perikanan. Ghalia Indonesia.
Ruyat, Y. (2017). Peran Indonesia dalam Menjaga Wilayah Laut Natuna dan Menyelesaikan Konflik Laut Tiongkok Selatan. Jurnal Lemhannas RI, 5(1), 65-75.
Tampi, B. (2017). Konflik kepulauan natuna antara indonesia dengan china (suatu kajian yuridis). Jurnal Hukum Unsrat, 23(10).
Wahyuni, S. (2019). Strategi Pemerintah Indonesia Dalam Penyelesaian Konflik Klaim Traditional Fishing Ground Pada Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Di Perairan Natuna Oleh Republik Rakyat Tiongkok. SOSIORELIGIUS: JURNAL ILMIAH SOSIOLOGI AGAMA, 4(2).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H