Lihat ke Halaman Asli

Titin Kustini

dosen/ prodi pendidikan bahasa inggris/universitas majalengka

Remaja di Pusaran Rage Culture

Diperbarui: 20 Juli 2023   11:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua kasus penganiayaan berat oleh remaja yang menjadi isu nasional belakakangan ini, menjadi sinyalemen munculnya rage culture di kalangan remaja. Kasus yang kemudian sama-sama menyeret bapaknya ke kasus dugaan korupsi akibat pamer kemewahan di medsos ini, meminjam istilah netizen, sungguh di luar nastar (baca: nalar). Menyeruakkan tanya, sedemikian parahkah rage culture merasuki remaja? Berapa persentase data sesungguhnya remaja di Indonesia yang terpapar rage cuture ini?

Vocabulary.com mendefinisikan Rage is a really intense anger. Rage adalah suatu bentuk keadaan emosi yang sangat marah, sehingga menghilangkan kendali akal sehat. Yang bila itu dibiarkan, akan membuat pelaku tega melakukan perusakan atau penganiayaan kepada orang lain.

Tahun 2019, David Holmes, seorang kolomnis asal Amerika  menulis, "It is with great sorrow that I have come to realize we live in a culture that chooses to define itself by rage." Ya, jauh sebelum kasus Mario Dandi dan temannya mencuat, sesungguhnya budaya kekerasan telah mulai tumbuh di kalangan masyakat, setidaknya itu yang menjadi keprihatinan Holmes. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa rage culture ini sangat merusak tatanan moral masyarakat.  "I hope I do not have to continue trying to convince you why rage culture is so damaging to the moral fabric of society."

Banyak pihak meragukan rage culture ini bisa dihentikan dengan mudah. Teknologi yang dikombinasikan dengan politik pembenaran menyebabkan hal tersebut berkembang dengan sangat cepat dan pesat sehingga berlangsung terus menerus tak berkesudahan. Hal yang bisa dilakukan untuk menghentikannya adalah menjauhkan diri. Orang harus mengelola kemarahannya dan mengabaikan impuls reaksi melampiaskan kemarahannya pada orang lain. Sejatinya kita harus mempraktekkan "memaafkan" dan menyadari bahwa kemarahan bukanlah hal yang benar, meski pun bahkan jika kita merasa ingin melampiaskannya.

Seharusnya kita menyadari bahwa pada akhirnya suatu hari, mungkin saja kita berada pada perahu yang sama, pada satu sikap yang sama. Hal ini mungkin cukup berat bagi sebagian orang namun harus terus dilatih untuk dibiasakan. Mencoba membuat keadaan tidak menjadi lebih buruk dan mencegah melampiaskan kemarahan pada hal yang tidak seharusnya mendapatkannya.

Adanya perasaan marah sebenarnya normal, "memproteksi human emotion". Misal, marah bisa saja memberi energy pada orang untuk melakukan sesuatu atau bertahan pada keyakinannya. Namun jika kemarahan itu mengarah pada kekerasan (rage), maka hal ini mengarahkan pada masalah, di lingkungan tempat kerja, pergaulan, hubungan personal dan bahkan seluruh aspek kehidupan.

Jawaban atas pertanyaan mengapa hal ini terjadi, sesungguhnya sangat kompleks. Alasan sosial ekonomi hingga politik bisa menjadi pemicunya. Namun yang menarik dicermati adalah bahwa ternyata media social menjadi faktor yang saat berpengaruh dalam membentuk rage culture.  Dalam artikelnya tentang bagaimana mencegah dan menghentikan rage culture, Rebecca Troop menyatakan salah satunya adalah membatasi konsumsi media dan digital.

Memperoleh informasi itu penting tetapi lakukan hal tersebut hanya di sebagian kecil waktu kita saja. Tahukah kita bahwa strategi algoritma membuat aplikasi-aplikasi, media social, tayangan reality di televisi, berita-semua media- sesungguhnya sangat "membenamkan" perasaan dan emosi? Seperti judi, desainnya sangat mendistorsi konsumsi waktu "user"nya. Sebagai tambahan, social media dapat melepaskan dopamine (mirip dengan penggunaan alcohol/obat atau olahraga), mengkonsumsi informasi yang berlebihan dan mendalam dapat menciptakan respon penolakan alami. Bijak dalam mengkonsumsi media dan mematikannya bila diperlukan bisa menjadi cara memperoleh kesehatan mental yang sederhana.

Bila demikian, wajarlah jika remaja ada di posisi pusaran bahaya rage culture mengingat remaja seringkali bermedsos tanpa kendali dan batasan. Flexing, konsumerisme, kekerasan, bullying, pornografi, seringkali menjadi "racun" dalam pemikiran remaja.

Maka, jika pemicu rage culture begitu kompleks, untuk menyelamatkan mental remaja juga perlu upaya yang kompleks dan lintas sector. Pembekalan filter diri yang kuat oleh keluarga, pendidikan yang tepat serta pengarahan pada pergaulan dan  gaya hidup yang sehat di masyarakat mencegah dan menghentikan rage culture agar tidak menjadi meluas dan membahayakan tatanan kehidupan masyarakat.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline