Pandemi Covid-19 menjadikan semuanya berubah - termasuk perguruan tinggi (PT). Awalnya harus semua tatap muka secara fisik
namun seiring ada kebijakan social/physical distancing sekarang berubah menjadi semuanya melalui dalam jaringan (daring) - dari rapat, kuliah, ujian proposal (skripsi, tesis, disertasi dan penelitian), ujian (kuliah, skripsi, tesis, dan disertasi ), seminar ilmiah, dan lainnya.
Yang paling marak saat ini adalah webinar. Istilah ini merupakan gabungan dua kata, yaitu: web dan seminar. Biasanya seminar dilakukan secara online dan sekaligus dapat ditonton live serta live streaming. Kesemuanya tergantung platform yang dipakai.
Kegiatan webinar terutama yang dilakukan perguruan tinggi, jika dilacak di mesin pencari internet ditemukan 308.000 hasil baik berupa berita, makalah maupun youtube.
Kegiatannya pun ada yang bersifat gratis dan adapula yang berbayar. Pembicaranyapun ada yang lokal, nasional maupun internasional. Ada yang menyediakan e-sertificate ada yang tidak.
Yang paling ramai dan viral kegiatan webinar adalah webinar yang dilakukan oleh Dosen Muda Fakultas Hukum UGM bertemakan awal "Pemerintah Sukanya Basa-Basi?" berubah menjadi "PSBB: Policy Setengan Basa Basi". Kegiatan tersebut terlaksana. Ada webinar yang dibatalkan karena tema yang "menyerempet" tahta Presiden dengan tema tentang "Pemberhentian Presiden".
Webinar yang terakhir ini dibatalkan bukan karena faktor teknis seperti koneksi internet atau faktor teknis lainnya tetapi kabarnya tekanan luar biasa .... (sebenarnya lebih pasnya teror) (entah dari siapa) kepada panitia maupun pembicara.
Tema webinar yang diselenggarakan PT kebetulan atau sengaja "nyenggol" politik kenegaraan dan pemerintahan sebenarnya mengembalikan 4 khithoh-nya, yaitu: menghindari ivory tower, kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, serta otonomi (posisional, relasional, dan transformational) perguruan tinggi. Keempat khithoh PT harus dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan dalam ruh dan nafasnya. Ketika perguruan tinggi care terhadap permasalahan bangsa dan rakyatnya maka sebenarnya PT mengurangi posisinya hanya sebatas menara gading (ivory tower). Asyik dengan ilmu yang dikembangkan yang terlepas dari konteks masyarakat dan bangsanya. Dengan demikian menjadikan PT bisa knowledge production, mobilization and dissemination secara bersamaan. Hal ini akan menambah makna apapun yang dihasilkan perguruan tinggi bisa mengembangkan riset yang Technological Readiness Level (TRL) dan Market Readiness Level (MRL)-nya tinggi. Ketika ini berjalan semestinya Negara dan Pemerintah wajib membiayainya secara penuh bukan malahan PT diharuskan mencari sendiri pendapatannya melalui kebijakan Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negera (PT BHMN) atau Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dengan cara merintisnya melalui PTN Badan Layanan Umum (PTN BLU). Berdasarkan pemikiran ini mestinya Pemerintah mencabut kebijakan penerapan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) dan juga ini merupakan realisasi salah satu tujuan dibentuknya Negara Indonesia, yaitu : Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Jika Negara dan pemerintah tetap tidak mencabut kebijakan ini berarti pemerintah sudah melanggar Konstitusi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI