Plastik adalah salah satu jenis pengemas pangan yang banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia. Material polimer ini memiliki daya tahan yang baik, ringan, dan harganya sangat murah.
Oleh karena itu, para pedagang/ produsen menjadikan plastik sebagai primadona dalam pengemasan pangan karena dinilai efisien. Namun, seiring berjalannya waktu terjadi penumpukan limbah plastik dan mengakibatkan pencemaran lingkungan karena karakteristik plastik yang sulit terdegradasi (Mandala et al. 2020). Di Indonesia, konsumsi masyarakat terhadap plastik mencapai 10 kg/kapita pertahun, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara kedua penghasil limbah plastik ke lautan (Jambeck et al. 2015). Sampah plastik di perairan menyebabkan timbulnya mikroplastik yang dapat mengganggu rantai makanan dan bersifat karsinogenik. Berbagai inovasi dilakukan untuk mengatasi permasalahan limbah plastik, salah satunya adalah bioplastik.
Bioplastik merupakan polimer yang dapat terdegradasi oleh mikroorganisme dan terbuat dari dari sumber alami yang dapat diperbarui (Chen, 2014). Bioplastik dapat mengurangi secara signifikan dampak lingkungan dari efek gas rumah kaca dan konsumsi energi akibat produksi dan penggunaan plastik konvensional, sehingga bioplastik dapat menjadi alternatif pengganti plastik sebagai kemasan pangan yang ramah lingkungan. Disamping itu, pengembangan bioplastik menjadi kemasan pangan dapat menjadi strategi dalam menghadapi perkembangan teknologi yang berkelanjutan dari sisi lingkungan dan ekonomi (Mandala et al. 2020).
Bioplastik umumnya terbuat dari bahan polimer alam seperti pati, dengan penambahan bahan lain seperti selulosa (Merisiyanto dan Johar, 2013). Ketersediaan pati yang melimpah dan harganya yang murah membuat pati dipilih sebagai bahan baku yang potensial untuk membuat bioplastik. Pati yang biasa digunakan berasal dari sumber makanan pokok atau pengganti makanan pokok seperti ubi kayu, kentang, dan jagung.
Namun, penggunaan bahan tersebut secara terus-menerus dapat mengganggu ketahanan pangan dan menciptakan kompetitor pangan di masa mendatang. Oleh karena itu, diperlukan bahan baku pati yang berasal dari bahan yang tidak dikonsumsi masyarakat, salah satunya adalah limbah pangan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa limbah pangan berpotensi menjadi bahan baku pembuatan bioplastik, seperti kulit singkong, kulit pisang, kulit nanas, biji durian (Ginting et al. 2016), biji nangka, biji alpukat, biji mangga, dan biji cempedak.
Proses pembuatan bioplastik dapat berbeda sesuai dengan bahan baku yang digunakan serta karakteristik bioplastik yang akan diproduksi. Karakterisasi dari bioplastik adalah proses yang sangat penting untuk menghasilkan bioplastik dengan karakteristik yang diinginkan, pada tahap ini juga ditambahkan bahan lain yang mendukung peningkatan kualitas karakteristik dari bioplastik, seperti penambahan fungsi aktif antimikroba dan antioksidan sehingga terbentuk kemasan aktif (active packaging) karena ada interaksi aktif dari bahan kemasan dengan bahan pangan yang dikemas.
Kemasan aktif dengan penambahan zat antimikroba berfungsi untuk melindungi pangan dari kerusakan mikrobiologi karena menghambat pertumbuhan mikroba, selain itu juga dapat menjadi pengawet alami sehingga meningkatkan umur simpan produk yang dikemas. Agen antibakteri yang digunakan dapat berasal dari sumber alami yang memiliki spektrum aktivitas inhibisi yang luas terhadap mikroorganisme patogen dan pembusuk bahan pangan (El Wakil et al. 2015).
Agen antibakteri tersebut dapat digabungkan dengan matriks polimer untuk memperoleh aktivitas antibakteri, seperti pada bioplastik (Fortunati et al. 2013). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, bioplastik dengan kandungan antibakteri dari sumber bahan alami terbukti efektif dalam mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Beberapa bahan alami yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai agen antibakteri sebagai berikut:
- Ekstrak etanol daun sirih, mengandung senyawa aktif polifenol seperti tannin dan flavonoid memiliki aktivitas antibakteri melawan Bacillus cereus
- Ekstrak etanol daun basil yang mengandung senyawa metabolit sekunder seperti minyak esensial, flavonoid, alkaloid, saponin, fenol, dan tannin memiliki aktivitas antibakteri melawan Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
- Nano partikel kitosan memiliki aktivitas antibakteri terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
- Minyak atsiri lengkuas yang memiliki kandungan senyawa 1,8-cineol atau eucalyptol memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli
- Ekstrak etanol rambut jagung yang memiliki kandunfan senyawa fitokimia yaitu alkaloid dan flavonoid memiliki aktivitas antibakteri dengan menghambat pertumbuhan pada bakteri Escherichia coli
- Ekstrak bawang putih yang memiliki kandungan senyawa allicin memiliki aktivitas antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus
REFERENSI