Kondisi pandemi corona ternyata tak kunjung reda meski memasuki bulan Ramadan. Bahkan fakta getirpun harus tegar dihadapi tatkala kota kelahiranku resmi tercatat sebagai zona merah. Pagi itu, aku setengah terperangah manakala membuka sebuah surat kabar lokal menyatakan Jogjakarta masuk red zone. Tentu bukan kabar gembira namun setidaknya menjadikan diri ini lebih waspada dan harus semakin patuh dengan berbagai imbauan pemerintah untuk stay at home.
Sebetulnya sudah bisa ditebak jika akhirnya kota kecilku pun harus ikhlas dengan penyematan label tersebut. Betapa tidak, kondisi jalanan yang sebelumnya tampak lengang kini ramai kembali seolah suasana kembali normal padahal pandemi belumlah berakhir.
Entah apa yang ada di benak mereka. Mungkin mereka jengah saat harus menghabiskan waktu hanya di rumah saja atau menganggap bahwa situasi sudah aman-aman saja karena memang tak ada gencatan senjata. Toh, keberadaan virus itu tak terlihat oleh mata telanjang. Bisa jadi ketidakpedulian mereka pun menjadi dasar sikap masa bodo dengan keadaan saat ini. Namun imbasnya sangat fatal karena jumlah masyarakat terpapar wabah kini semakin meningkat dari waktu ke waktu. Dan imbasnya sungguh luar biasa.
Tak pelak juga jika kondisi ini disokong oleh para pemudik dari zona merah yang nekad nerobos batas kota hingga akhirnya berjubel dengan warga kotaku. Jadilah si virus makin berkembang biak dari satu orang ke orang berikutnya. Mirip efek domino lah yang saling berantai.
Ada banyak sektor yang akhirnya terhempas oleh merebaknya virus tak bertuan ini. Tak terkecuali hotel, restauran, termasuk kafe tempat nongkrong anak-anak muda. Semuanya terdampak yang berimbas pada merumahkan sejumlah karyawan karena memang tak ada lagi anggaran untuk menggaji mereka, semua usaha tiarap tak ada pemasukan lagi.
Jadilah PHK sebagai alternatif terakhir. Lalu bagaimana dengan penyedia (supplier) bahan makanan, yang pasti merekapun terdampak. Biasanya hasil bumi termasuk perikanan, peternakan dan pertanian mengucur deras ke hotel, restauran dan tempat makan lainnya. Namun saat ini, kondisi tak lagi memungkinkan.
Mereka para pemasok kebingungan, hendak kemana menyalurkan hasil bumi dan ternak tersebut. Satu-satunya yang paling memungkinkan hanyalah ditawarkan ke masyarakat sebagai konsumen pertama. Berbagai pesan singkat baik lewat media sosial maupun whatsapp terus bergulir menjajakan hasil ternak dan pertanian juga masakan siap santap. Tentu dengan harga yang bersaing.
Seperti gayung bersambut. Alhasil daganganpun laris manis dan masih dengan harga yang wajar dengan bonus siap antar sampai tujuan. Mengingat pemberlakuan stay at home masih berlangsung bahkan kemungkinan masih terus diperpanjang hingga kondisi kembali normal. Harapannya tak berpengaruh pada situasi harga bahan pangan di sekitarku terlebih saat Ramadan ini.
Tentunya, apapun yang terjadi semua harus dihadapi dengan sabar dan ikhlas. Ada banyak hikmah yang bisa diambil dari pandemi wabah corona ini. Sebelumnya, kita disibukkan dengan berbagai aktivitas yang mengatasnamakan demi tegaknya ekonomi keluarga. Mencari uang pagi hingga petang bahkan tak jarang sampai malam menjelang, yang terkadang kita lupa ada keluarga yang tengah lelah menanti kehadiran kita di rumah karena saking sibuknya kita meraup rupiah.