Lihat ke Halaman Asli

Titien Saraswati

Guru Besar Arsitektur dan Lingkungan, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta 55224. E-mail kantor: titiens@staff.ukdw.ac.id

Copas dan Plagiat Sama Buruknya

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Saya mengalami dua kali artikel saya di jurnal ilmiah nasional di-copy-paste (copas). Pertama, artikel hasil penelitian saya tentang rumah dome sebagai rumah untuk korban gempa di Nglepen, Prambanan, D.I. Yogyakarta. Bagian dari artikel saya itu di-copas oleh seorang blogger ke blog-nya tanpa memahami inti keseluruhan artikel saya. Akibatnya, komentar-komentar follower-nya sangat jauh berbeda dengan kesimpulan dan rekomendasi yang saya tulis di jurnal ilmiah itu. Kesimpulan yang saya tulis pada artikel saya ialah bahwa saya menolak untuk didirikan lagi rumah dome di manapun di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Namun komentar-komentar yang timbul adalah semua setuju untuk dibangun rumah dome di mana saja di Indonesia. Ini kan sudah merusak tulisan saya yang notabene merupakan hasil penelitian, bukan tulisan asal-asalan. Ini terjadi pada tahun 2008.

Kedua, lagi-lagi artikel hasil penelitian saya di jurnal ilmiah di-copas. Yang kedua ini amat-sangat keterlaluan. Saya deteksi pertama kali tahun 2010, karena judul artikelnya amat sangat mirip dengan artikel saya. Namun web-nya sulit saya buka. Akhirnya saya lupa. Tahun 2012 teman saya bilang bahwa artikel saya di web tertulis atas nama orang lain. Web-nya saya buka, ternyata ini yang sulit saya buka tahun 2010 itu. Kaget sekali saya. Hampir 95% artikel saya itu di-copas dalam tugas kuliah seorang mahasiswa S2 suatu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) terkenal di Jawa. Baik gaya penulisan maupun kata-katanya, istilah-istilah Jawa yang saya tuliskan (karena penelitian saya lokasinya di Klaten, Jawa Tengah), sampai ke foto-foto yang saya sertakan pada artikel saya itu, di-copas dengan amat sangat tidak tahu malu, tidak tahu etika. Akhirnya saya laporkan ke PTN tersebut yang kemudian memproses dengan sangat cepat dan efisien. Bulan September 2012 saya laporkan, bulan November 2012 saya mendapat copy SK Rektor PTN tersebut yang memberhentikan mahasiswa S2 yang plagiat tersebut sebagai mahasiswa PTN itu. Saya sangat salut akan PTN itu, yang tetap menjaga nama baik dan kredibilitasnya.

Bagi kami, dunia akademik adalah dunia yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran ilmiah. Pantang bagi seorang mahasiswa maupun dosen untuk plagiat karya orang lain. Dalam Peraturan Mendiknas RI nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi,plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Di situ tertulis pula bahwa bila pimpinan PT tidak menjatuhkan sanksi kepada si plagiator, maka Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada plagiator dan pimpinan PT itu. Jadi istilah kasarnya, plagiator itu “maling/pencuri”, bibit yang baik bagi korupsi di masa depan. Sepandai-pandai ditutupi kecurangan itu, akhirnya akan ketahuan juga.

Saya termasuk dosen yang tidak setuju kalau mahasiswa sedikit-sedikit mencari dan copas dari internet, dari Google. Kalau membutuhkan informasi sih boleh-boleh saja, namun untuk tulisan ilmiah saya tidak mengijinkan mahasiswa saya mencari pustaka dari Google. Harus pustaka versi cetak. Ternyata ketidak-setujuan saya ini mendapat “amunisi” dari tulisan Beni Setia berjudul “Googling” di Kompas cetak, Jum’at 19 Juli 2013, halaman 6. Menurut Beni Setia itu, googling hanya membuat orientasi pada hasil tanpa menghargai proses, menyebabkan kecenderungan menggampangkan masalah ketika siswa/mahasiswa mendapat tugas mengarang atau membuat karya tulis. Lebih lanjut Beni Setia mengatakan, dari situ, dari sukses instan dengan cara menghalalkan tujuan dengan cara copas itu, akan melahirkan karakter macam apa? Ini semua menunjukkan kemalasan yang akhirnya naik menjadi ketergantungan pada yang serba instan. Generasi macam apa yang akan meneruskan bangsa-negara ini? Pertanyaan yang pantas kita renungkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline