Saya termasuk yang cukup "heboh" ketika mendengar kalau seragam sekolah tahun 2024 berubah. Apalagi ketika melihat ilustrasi gambar seragam sekolah yang baru di beberapa media daring yang banyak beredar. Ternyata yang "heboh" dengan berita ini bukan hanya saya.
Di beranda salah satu media sosial yang saya miliki, seorang pedagang wanita ngomel-ngomel terkait kebijakan ini sambil memperlihatkan banyaknya stok seragam sekolah yang sudah disiapkan untuk menyambut tahun ajaran baru ini. Dengan nada berapi-api si pedagang berkata, "Bukan seragamnya yang harus diganti, tapi Menteri Pendidikannya!!!"
Saya tidak mau berkomentar terkait pernyataan pedagang ini ya, saya hanya ingin mengkritik diri saya sendiri yang cepat sekali termakan isu. Seharusnya hal pertama yang dilakukan ketika mendengar sebuah berita adalah mencari tahu kebenarannya. Tidak menelan bulat-bulat berita yang diterima karena tidak semua media, terutama media daring menyampaikan berita secara utuh. Beritanya dipenggal-penggal untuk membuat heboh.
Seandainya dari awal disampaikan ini lho ada Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah untuk Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, isinya bla bla bla tentu tidak akan membuat emak-emak dan pedagang seragam naik pitam. Kasihan Tapi, kalau dari awal beritanya seperti itu, apa serunya ya. Media kan senangnya yang seru-seru, yang bikin heboh, yang bikin orang-orang kebakaran jenggot, supaya beritanya laku. Kasihan Pak Nadiem sampai dimaki-maki. Kasihan lagi yang memaki-maki karena kata-kata yang terlontar sudah terlanjur dicatat malaikat.
Jujur, setelah membaca Permendikbud ini saya tidak merasa ada yang berubah. Seragam tetap 2 macam, seragam nasional dan seragam pramuka plus seragam khas sekolah. Seragam nasional tetap kemeja putih dan rok/celana merah untuk SD, kemeja putih dan rok/celana biru tua untuk SMP, kemeja putih dan rok/celana abu-abu untuk SMA. Tidak ada yang berubah kan?
Pakaian pramuka? Tetap mengacu pada model dan warna yang ditetapkan oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka .
Seragam khas sekolah? Sebelum ada aturan ini sekolah juga sudah punya seragam khas (Kalau di sekolah tempat saya berdomisili, seragamnya adalah sasirangan).
Pakaian adat? Hanya digunakan pada hari atau acara adat tertentu. Saya sih lebih memilihi untuk menyewa daripada beli, mengingat penggunaannya hanya sakali-sekali.
Sama sekali tidak ada yang berubah dari jenis seragamnya. Tapi, karena pemberitaan yang setengah-setengah membuat reaksi terhadap pemberitaan ini menjadi di luar ekspektasi para pemangku kebijakan.
Terlepas dari ekspektasi para pemangku kepentingan, sebagai orangtua saya justru lebih senang kalau seragam ditiadakan, jadi anggaran untuk pengadaan seragam bisa dialihkan untuk belanja rumah tangga (ngarep). Tapi ini serius. Anggaran seragam bisa digunakan untuk keperluan lain.
Untuk sepatu juga, kadang saya bingung sendiri dengan sekolah yang mewajibkan warna sepatu harus 100% hitam. Ada putih dikit saja, dihukum, disuruh ganti, atau yang warna putihnya disuruh menghitamkan (tepuk jidat). Duh, segitunya sama hal-hal yang tidak begitu krusial. Seharusnya sekolah lebih peduli terhadap hal-hal yang berdampak pada attitude siswa. Suka terlambat, menyontek, tidak mengerjakan tugas, buang sampah sembarangan, tidak bisa antri, berkata kasar, perundungan dan sejenisnya.