Lihat ke Halaman Asli

Titiek Septiningsih

IRT yang merangkap sebagai ASN dan mencoba mengasah kemampuan menjadi penulis

Mengubah Pola Pikir dalam Menjaga Stabilitas Keuangan

Diperbarui: 29 Juni 2020   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Twitter BI

Tak kenal maka tak sayang.

Tak sayang maka tak paham

Tak paham maka tak mau terlibat

Tak mau terlibat maka masabodoh

Kalau melihat dari puisi di atas (itupun kalau bisa disebut puisi), ternyata sifat masabodoh atau ketidakmauan seseorang untuk terlibat dalam suatu aksi salah satunya disebabkan karena ketidaktahuan (tidak kenal). Hal ini bisa disebabkan karena orang tersebut malas mencari tahu, mendapat informasi yang salah, atau bisa juga karena orang tersebut tidak percaya dengan informasi yang didapatnya.

Buktinya, walau sudah banyak korban berjatuhan akibat Covid-19, yang menganggap Covid-19 sama seperti flu biasa masih banyak.  Aktivitas kumpul-kumpul masih terlihat, orang-orang yang tidak memakai masker masih ada, protokol kesehatan pun kadang masih dianggap angin lalu. 

Tanggapan masyarakat terhadap pandemi Covid-19 memang beragam. Perbedaan perspektif menyebabkan perbedaan pola pikir. Ada yang menganggapnya tahayul karena ilmu yang bisa dicerna ya hanya sebatas itu. Yang mengerti tentang karakteristik virus, tentu akan menanggapinya dengan cara yang berbeda. Dan yang menganggapnya sebagai konspirasi ya wajar juga karena ilmunya sudah sampai ke sana. Perbedaan latar belakang pendidikan, pekerjaan, keluarga, hobby, jumlah media yang dibaca/ditonton, dll sedikit banyaknya turut mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Apapun tanggapan masyarakat terhadap pandemi ini, satu hal yang pasti adalah dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Dilansir dari money.kompas.com, Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan lalu menyatakan perekonomian Indonesia masih bisa tumbuh sebesar 2,97. Walau realisasinya lebih rendah bila dibandingkan dengan kuartal IV-2019 dan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun lalu, tapi bila dibandingkan dengan negara lain yang pertumbuhan ekonominya negatif, angka ini cukup melegakan.

Tentunya hal ini tidak terlepas dari kebijakan makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia. 

Apa sih kebijakan makroprudensial itu ?

Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makroekonomi dengan mikroekonomi (Twitter Bank Indonesia). Wah...pengertiannya terlalu teoritis ya. Makroekonomi. Mikroekonomi. 

Lain kali, Bank Indonesia mungkin harus memberi pengertian yang tidak hanya bisa dipahami oleh ekonom, tapi juga orang awam. 

Gampangnya begini, seluruh upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas sistem keuangan disebut kebijakan makroprudensial. Apa saja? Ya macam-macam. Bisa dengan menaikan/menurunkan suku bunga acuan, penambahan likuiditas untuk meningkatkan pembiayaan perbankan, pelonggaran rasio uang muka terhadap aset properti, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dll.

Memangnya kenapa kalau sistem keuangan tidak stabil?

Masih ingat krisis tahun 1998? Saat itu nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dollar, akibatnya banyak pihak berspekulasi dengan mengalihkan investasinya ke mata uang dollar untuk mendapatkan selisih konversi yang sangat tinggi. Selain itu juga terjadi penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush), termasuk para investor sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas. Semua itu terjadi karena ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang ada. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline