Lihat ke Halaman Asli

Titi Ariswati

Puisititi untuk sahabat sejati

Gurihnya Rasa Burung Dara Goreng

Diperbarui: 18 Juni 2023   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri/Titi/canva

Gurihnya  Rasa Burung Dara Goreng

Kenangan indah masa kecil di Jakarta membuat bahagia. Di Rawamangun, tepatnya di jalan PUs Barat, Perumahan Perhubungan Laut, kediaman Bu Dhe, yang nyaman.

Jika libur sekolah tiba, aku ikut bapak ke Jakarta, naik truk yang dikemudikan Bapak. Truk mengangkut beras dari Pasar Wage, Purwokerto di malam hari. Aku duduk di depan, di samping Bapak, diapit ibu, di sebelah kiri.
Sebelum bongkar muatan, bapak menurunkan aku dan Ibu di rumah Bu Dhe.

Di siang hari Bu Dhe mengajakku ke kantornya, Dinas Sosial naik bis. Bangunan yang tinggi, kuno dan besar, sayang lupa di daerah mana. Sebelum ke kantor, Bu Dhe mampir ke toko kue, membeli kue untuk teman-teman di kantor.
Aku berdua putri Bu Dhe, Mbak Rina, usianya lebih muda dariku, disambut meriah oleh teman-teman Bu Dhe. Mbak Rina, yang bermata jeli, berambut panjang, menjadi pusat perhatian.

Di hari libur, Bu Dhe mengajakku ke pasar Rawamangun. Senang sekali melihat pasar di kota besar. Bu Dhe mengajakku makan bakso di kios  dalam pasar.

Di malam hari, aku dan saudara sebaya, nengendap-endap keluar rumah, menuju terminal Rawamangun. Di sana ada penjual burung dara goreng.  Wajan untuk menggoreng sangat besar, tidak seperti umumnya di kotaku yang biasa digunakan menggoreng mendoan.  Kami membelinya dan makan diam-diam di depan rumah. Enak sekali rasa burung dara goreng, gurih.

Pengalaman menegangkan aku rasakan, ketika naik Kopaja sendirian. Maklum anak kecil, disuruh mengambil sesuatu yang ketinggalan di rumah. Saat itu aku pergi naik bis kopaja bersama saudara yang usianya lebih tua, ke tukang servis radio. Sesampainya di tukang servis, ada sesuatu yang tertinggal dan harus diambil. Maka aku pulang ke rumah Bu Dhe mengambil barang dan kembali lagi ke tukang servis naik bis Kopaja lagi.
Jakarta kala itu masih sepi,csekitar tahun tujuh puluhan.

Yang  menyenangkan adalah  ketika Pak Dhe mengajakku ke kantornya, di Tanjung Priuk. Aku diajaknya naik kapal, membelah laut. memmMemandang langit dan laut yang begitu luas, sangat mengagumkan.

Kini semua tinggal kenangan. Kebaikan hati Bu Dhe dan Pak Dhe, mewarnai masa kecilku yang bahagia. Semoga menjadi amal Soleh ladang pahala bagi beliau yang telah menghadap-Nya, menjadi bekal untuk berada di tempat yang nyaman di sisi-Nya.

Di bulan September 2022, rasa kangen kepada Bu Dhe terjawab lewat berita lelayu. Bu Dhe telah tiada, dipanggil menghadap-Nya.
 Keinginan untuk menengok beliau tidak juga terujud, sampai akhirnya berjumpa tapi tak dapat bertegur sapa. Aku ikut memandikannya, menyolati  di masjid dan mengantar ke pemakaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline