Lihat ke Halaman Asli

Catatan Harian Pulang Kampung

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pulang kampung Lebaran silam mungkin terasa lebih, hm, gimanaaa, ‘gitu. Buat saya, sih, pulang kampung selalu menyenangkan. Tetapi, yang bikin terasa “gimana ‘gitu” itu adalah karena Kakak ikut mudik. Bukan mudik sembarang mudik, mudik setelah 32 tahun. Tiga puluh dua tahun! Ada yang seumur? Atau lebih muda? Kali terakhir Kakak pulang kampung ke Bukittinggi: anno 1977. Setelah itu, Kakak ke Jakarta. Tahun 1981, keluarlah SK pengangkatannya sebagai guru di sana. Dan tahun 1983 Kakak menikah. Kampung tinggallah kampung, karena setelah itu Kakak memang tak pernah lagi mudik. Maka itu, kira-kira bisalah dibayangkan, bagaimana perasaan Kakak setelah kembali menginjakkan kaki di tanah tempat kelahirannya. ‘Nangis bombay, he-he-he. Kami berangkat Sabtu, 19 September 2009, pagi-pagi. Rush si Ibu sudah “full tank”, dengan Yaya sebagai navigator (biar tidak puyeng karena dia biasanya “pemabuk berat”) di samping Bapak; Ibu, Kakak dan saya di tengah. Rian mendapat tempat paling empuk di belakang, yang sudah ditata rapi dengan lapisan koper-koper, kasur dan bantal-bantal. Biasanya, sepanjang perjalanan dia bakal tidur dengan tenang. Padahal, kakaknya, si Navigator, sempat juga muntah di perjalanan. Tengah hari, sampai juga kami di kampung kecil kaki Gunung Marapi itu. Tidak buruk, karena perjalanan cukup lancar. Itu kalau acara muntah tidak diperhitungkan. Dan hati dongkol karena tingkah ratusan pengendara sepeda motor yang ikut pulang kampung juga tidak dimasukkan dalam berita acara. Termasuk, he-he-he, jika acara saya ketiduran sampai baru sadar setelah mobil kami hampir sampai di kampung juga tidak dilaporkan. Saya tahu, pastilah dalam hatinya Kakak berdebar-debar saat keluar dari mobil. Buat Kakak, selain menemukan kampung yang sudah berubah, rumah gadang kami pun sudah tidak sama, karena rumah kayu tua sudah lama dibongkar dan sebagai gantinya dibangunlah sebuah rumah bata. Meski begitu, ingatan Kakak akan masa kecilnya di kampung sejuk itu masih sangat terjaga. Dia masih ingat teman sepermainannya, meski sudah berpuluh tahun mereka tak bersua. Mudah sekali matanya berair. Tetapi tak lama, karena kami tidak membiarkannya. Maka, rumah berlantai papan itu pun hiruk oleh gelak tawa hingga malam turun. Meski tetap tak mampu mengusir hawa dingin yang menyelinap. Bergelas-gelas kopi dan teh keluar dari dapur. Hm, nikmat! Malam itu, dan malam-malam selama di kampung, kami menggelar kasur di ruang tamu, tidur bersusun rapat berselimut hangat. Kakak mendapat tempat paling nyaman: kemulan di tempat tidur, menemani Tek Ani di kamar. Ahad subuh Idul Fitri, tantangan baru sudah menanti: mandi. He-he-he. Airnya, aduhaduh, dinginnn… sedingin air es dalam kulkas; sungguh tepat untuk menguji nyali siapa saja yang biasa mandi air panas. Saya beri tahu rahasianya, ya! Di tempat sedingin Bukittinggi, yang harus dilakukan justru mandi sepagi mungkin. Sebelum subuh, malah. Dengan begitu, hawa dingin tidak akan mengganggu lagi. Paling mantap kalau mandi di sungai. Bukan sungai seperti Sungai Siak, Ciliwung, atau Code, maaf, ya. Di kampung saya, sungai adalah sumber mata air yang tak henti-hentinya mengalir. Airnya ditampung dalam sebuah kolam, tabek bahasa kerennya, di belakang mesjid, kemudian dialirkan ke dua tempat mandi umum berdinding tinggi beratap langit. Seksi, kan? Satu untuk laki-laki, satu untuk perempuan. Terpisah di sebelah kiri dan kanan mesjid. Kalau ada yang penasaran, nih, saya tegaskan: no chance to peepin’ around, ok? Nah, percayalah, air sungai itu hangat sekali saat subuh. Maka itu, banyak yang memilih mandi dan mencuci di sungai. Pagi-pagi buta. Masalahnya, mandi di sungai menyimpan satu persoalan merepotkan bagi yang tak terbiasa: you have to use “kain basahan” system. Saya sudah lama memutuskan untuk absen saja. He-he-he. Biarlah mandi di rumah, dengan air PAM sedingin air es. Setelah sarapan, kami berangkat ke mesjid untuk salat Idul Fitri. Kali ini tak hanya mata Kakak dan Tek Ani yang berair…. Para precil: Yaya dan Rian. Dari kiri: si Ibu, Kakak dan saya. Foto ini diambil di rumah kampung, pas Idul Fitri. Hal tersulit dihindari saat berlebaran di kampung hanya satu: makan. Makan nasi. Pakai tambah pula. Dan tak hanya sekali. Buat pemula, he-he-he, berhati-hatilah. Kalau tidak “waspada”, bisa-bisa nanti pulang bertamu dengan perut sesak. Soalnya, jika dihidangkan nasi, tidak sopan bila menolak. Dan jika tidak mau tambah, tuan rumah bisa saja menyendokkan nasi ke piringmu. Dan tidak sopan bila tidak dihabiskan…. Meski saya tidak lagi pemula, toh, tetap pulang dengan perut kekenyangan. Ah, ini sih, karena selera makan yang terlalu "sehat". Ehm! Senin pagi, kami minus Kakak yang kakinya bengkak karena kelamaan duduk di perjalanan, berangkat ke Payakumbuh. (Sebelumnya kami sempatkan ke Harau). Ini sudah tradisi keluarga besar si Bapak, yang sudah tujuh kali lebaran berturut-turut pulang kampung bersama dan ‘ngumpul di Payakumbuh. Yah, jumlah total kalau datang semua, bisa mencapai seratus orang lebih. Wuih! “Kalau baralek, satu ekor sapi habis untuk keluarga kami saja,” kata Mama. He-he-he. Maksudnya, kalau pesta kawin. Nah, pengalaman saya di Payakumbuh ternyata enggak jauh-jauh dari: makan. Entah kenapa perut ini rasanya longgar, diganjal apa saja muat. Nasi berlauk rendang paru, hayo. Berlauk gulai kemumu dan rebung, hayo. Berlauk rendang runtiah, hayo. Berlauk gulai ikan, hayo. Sekadar lauk telur dadar pun, hayo. Ya ampun. Makan melulu. Padahal, setelah kekenyangan, rasanya menyesal. Lingkar pinggang pun sudah meleset dari empat jengkal. Akhirnya, saat makan bersama malam harinya, saya memilih berbagi piring saja dengan Yaya. Selasa siang, kami kembali “mendaki” ke Bukittinggi. Sorenya, kami diajak Da Wa berjalan-jalan melihat sawah di belakang rumah. Kesempatan bagus untuk berburu foto, nih. Lumayan jauh juga, menyusuri pematang, melewati sumber mata air, memutar hingga akhirnya sampai di kawasan pekuburan di belakang mesjid. Di sana, kami singgah lagi, berdoa di makam Abah dan Ome, serta nenek buyut Isah. Berjalan-jalan menyusuri pematang. Dari kiri: saya, si Ibu, Da Wa dan Yaya. Rabu pagi, eh, ada kegiatan baru yang menarik perhatian: membuat kue. Enggak jauh-jauh juga dari makanan. Sepagian itu saya lewatkan dengan membantu menggulung-gulung adonan kue arai pinang dan menggorengnya sampai azan lohor. Sementara Kakak yang pada awalnya bersemangat, eh, belakangan capai sendiri dan “kabur” dari dapur. Si Ibu, Bapak dan para precil pergi ke kota. Biasa… cuci mata dan belanja. Kamis pagi, rombongan yang berangkat ke kota sudah lengkap. Kakak dan saya juga ikut, soalnya. Tujuan: Pasar Atas. Ndilalah, si Bapak memilih parkir agak jauh di bawah, biar enggak macet. Alhasil, kami harus olahraga mendaki jenjang sampai puas. Buset. Rasa lelah terobati melihat begitu banyak karya sulam manis di lantai dua. Kalau tidak ingat-ingat, kantong bisa jebol…. Usai berbelanja, energi dipulihkan dengan: makan lagi. Astagfirullah. Kenapa ya, nasi kapau di Pasar Lereng itu enak? He-he-he. Sempat-sempatnya berfoto setelah makan di Pasar Lereng. Yang nongol dari ransel saya adalah si Benny. Hari Jumat, enggak kapok juga, kami kembali ke sekitar kawasan Jam Gadang. Para precil lantas bersenang-senang di salah satu playing zone yang ada di kawasan itu. Tidak hanya precil, sih, si Bapak juga. He-he-he. Hasilnya, Rian bisa membawa pulang sebuah bantal guling boneka sapi, yang setelah dimusyawarahkan, dinamai Benny. Plus, pernak-pernik lainnya sama banyak buat mereka berdua. Biar enggak berantem. Sepulang dari kawasan Jam Gadang, kami singgah menjemput keluarga kecil Rintintin, sepupuku, yang pagi itu baru sampai di Bukittinggi. Di rumah, saya dan si Ibu melewatkan sore hingga malam untuk berkemas-kemas. Maklum, si Bapak sudah memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru, Sabtu pagi. Malam itu, ruang tamu menjadi sedikit lebih padat dan lebih ramai. Sebab, si kecil Nia menangis terus karena sakit perut. Sudah lewat tengah malam ketika akhirnya dia tertidur. Kasihan. Sabtu pagi. Dapur sibuk kembali. Gelas-gelas teh dan kopi kembali keluar dari dapur. Di bawah komando Manajer Wa, Kibib Pekanbaru dan Kibib Jakarta mulai beraksi. Untung sehari sebelumnya Kibib Jakarta (baca: saya) sudah manggiliang lado. Menu pagi itu, nasi goreng dengan telur dadar. Ditambah irisan tomat dan bawang goreng, lengkap sudah. Sedap. He-he-he. Setelah si Bapak mengantar Rintintin kembali ke rumah bako-nya di depan Kantor Pos Bukittinggi, kami akhirnya berangkat juga. Tek Ani jelas enggan melepas kami pulang. Tapi, apa mau dikata. Insya Allah, ya Tek, kalau ada rezeki, kalau masih ada umur, hari raya tahun depan kami tetap pulang kampung…. Mudah-mudahan lebih ramai lagi…. Yang penting, kami alah mambao Kakak pulang kampuang. Supayo lapeh taragaknyo. Doakan supaya setelah semua terapinya selesai, setelah pensiun, Kakak bisa kembali ke tanah kelahirannya. Keluar dari kampung kecil di kaki Gunung Marapi itu, kulihat Kakak tak lepas memandang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline