Di balik setiap bata pada bangunan cagar budaya yang tersusun rapi dan dengan kokohnya berdiri dengan sangat berani, merekalah yang menjadi saksi bisu akan peradaban yang telah silih berganti. Menyimpan sejarah-sejarah dengan sangat rapat, menyaksikan setiap kejadian tanpa sadar akan menjadi bagian dari sejarah yang ia saksikan. Lorong-lorong pada bangunan cagar budaya seakan menuntun kita menuju masa lalu. Menapakkan kaki dan berdiri di dalamnya seolah memberi hembusan napas generasi-generasi lalu yang juga pernah hidup dan beraktivitas pada bangunan penuh sejarah itu. Beribu matahari dan bulan yang dilewati, bangunan-bangunan cagar budaya tanpa lelah terus berdiri untuk menjadi bukti bagi generasi selanjutnya akan sejarah yang pernah terukir pada setiap sudut bangunannya.
Beribu bangunan-bangunan bersejarah telah berhasil mendapatkan pengakuan yang sepantasnya dari pemerintah Indonesia sebagai bangunan cagar budaya. Bangunan-bangunan yang telah tersebar itu dapat dengan mudah kita temui di setiap sudut kota pada beberapa kota di Indonesia. Selagi bangunan-bangunan itu masih kokoh berdiri di atas Tanah Air ini, maka perlu bagi setiap orang untuk berkunjung menyapa bangunan-bangunan yang hampir lapuk dimakan usia.
Pembahasan mengenai cagar budaya membawa saya pada perjalanan yang saya lakukan pekan lalu. Bersama dengan matahari yang dengan cerahnya menyapa Kota Yogyakarta, saya bergegas menuju Stasiun Lempuyangan untuk dapat memulai perjalanan saya menuju kota yang juga berdiri dengan diselimuti kekayaan budaya dan sejarah. Surakarta, kota yang menjadi tujuan berwisata saya dalam misi menyusuri bangunan-bangunan bersejarah kali itu. Tidak perlu menempuh waktu yang terlalu lama, saya tiba di Stasiun Purwosari berkat Kereta Rel Listrik (KRL Commuterline) yang dengan sigap mengantarkan saya ke kota penuh sejarah ini. Pada perjalanan kali ini, tiga bangunan cagar budaya yang masih berdiri dengan memukau telah masuk pada list destinasi yang akan saya kunjungi, yaitu Lokananta, Istana Heritage Batik Keris/Omah Lowo, dan Pura Mangkunegaraan.
Perjalanan menyusuri bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Surakarta dimulai pada Lokananta Bloc yang tidak jauh dari Stasiun Purwosari. Di tengah hiruk-piruk kota yang terus tumbuh di setiap generasinya, tersembunyi sebuah bangunan tua yang pernah menjadi pusat kreativitas dan kejayaan musik di Indonesia. Dahulu, setiap sudut Lokananta dipenuhi gelak tawa merdu dari berbagai musisi, denting alat musik, dan bahkan dentuman ritme yang turut meramaikan tempat bersejarah ini. Cukup dengan mengeluarkan uang sebesar Rp25.000 (harga mahasiswa), saya sudah dapat dengan hikmat menyusuri Lokananta yang merupakan bekas studio rekaman dan juga perusahaan musik yang pernah menjadi saksi terciptanya rangkaian alunan musik serta nada yang dikemas dalam berbagai piringan hitam dan pita kaset. Tak hanya itu, Lokananta pernah berperan besar dalam melahirkan musisi-musisi berbakat di Indonesia.
Pada kunjungan saya ke Galeri Lokananta kali ini, saya dibersamai dengan Kak Taufik sebagai guide yang dengan sangat apik menceritakan sejarah Lokananta Studio Record di masa lalu. Sebelum masuk ke area galeri untuk melihat koleksi-koleksi yang ada, terdapat peraturan yang perlu dipatuhi semua pengunjung, yaitu perlu untuk menitipkan tas pada loker yang telah tersedia dan pengunjung hanya diperbolehkan masuk membawa ponsel saja. Ruangan pertama yang menyambut kami pada saat itu ialah ruangan linimasa. Pada ruangan ini, tergambar jelas sejarah-sejarah panjang Lokananta dari awal kemunculannya hingga akhirnya dialih fungsikan sebagai bangunan cagar budaya yang sekaligus merupakan bangunan cagar budaya. Beribu kata-kata tersaji pada setiap sisi dinding pada ruangan ini untuk membawa kita memahami sejarah dari tahun ke tahunnya. Tak masalah apabila enggan untuk membaca runtutan kata yang begitu banyak, cukup dengarkan guide saja untuk tahu sejarah yang ada. Setiap kali Kak Taufik mengantarkan rombongan untuk menginjakkan kaki pada setiap ruangan penuh dengan koleksi musik yang disajikan dengan sangat interaktif, saya tidak berhenti takjub akan keindahan dari galeri ini. Meskipun cuaca saat itu sangat terik, tetapi hembusan sejuk dari pendingin ruangan yang ada, membawa kami untuk fokus mendengarkan dan menyaksikan bukti sejarah musik yang tercipta di Lokananta ini sejak berpuluh-puluh tahun lalu. Meskipun galeri ini menampilkan sejarah masa lalu, namun setiap ruangan dan koleksinya dibuat se-modern mungkin untuk dapat membuat kami terkesima dan menaruh seluruh perhatian kami pada sejarah yang disampaikan secara lisan maupun secara tangible itu. Selama satu jam, mata ini tak henti-hentinya dimanjakan dengan keindahan koleksi dan sejarah yang disajikan dengan sangat apik. Sebelum akhirnya melangkahkan kaki pergi dari Lokananta, jangan lupa untuk mampir ke Lokananta Record Store untuk melihat maupun membeli koleksi piringan hitam (Vinyl) maupun pita kaset (Casette Tape) yang dijajakan.
Tak jauh dari Lokananta Bloc, saya melanjutkan perjalanan saya menuju suatu bangunan cagar budaya lain yang dialih fungsikan sebagai galeri batik dan toko batik, yaitu Istana Batik Keris Heritage. Cukup dengan membeli satu produk di Toko Batik Keris Heritage, saya sudah dapat memasuki Istana Batik Keris Heritage yang megah dan menawan. Saat selesai berbelanja, saya disambut dengan rumah megah bergaya klasik Eropa dengan hamparan taman penuh bunga yang mengelilingi rumah cantik itu. Sebelum memutuskan untuk melihat cantiknya rumah tersebut yang merupakan Istana Batik Keris Heritage, saya memilih untuk menjelajahi taman cantik yang terletak tepat di depan rumah tersebut. Warna-warni bunga yang sedang mekar dengan beberapa kursi-kursi taman, menyambut dan membersamai saya saat berjalan menikmati taman tersebut. Menyusuri taman dengan pemandangan cantik ini membuat saya merasa seperti putri bangsawan. Siapa sangka bahwa bangunan cantik bak rumah bangsawan zaman dahulu dengan taman yang cantik ini, merupakan bangunan cagar budaya yang pernah terbengkalai selama lima puluh tahun.
Fakta bahwa bangunan indah dan bersih ini pernah terbengkalai selama lima puluh tahun itu saya dapatkan dari guide yang menemani perjalanan saya menyusuri rumah yang pernah disebut sebagai Omah Lowo. Saat saya masuk ke dalam Istana Batik Keris Heritage, saya disambut dengan hawa sejuk dan pemandangan megah rumah bergaya khas kolonial yang penuh dengan koleksi batik hasil produksi Batik Keris. Arsitektur dari bangunan cagar budaya ini membuat saya takjub karena begitu elegan dan elok. Bangunan yang dibangun sejak sekitar tahun 1920 ini dahulunya merupakan rumah pribadi dari keluarga pengusaha Tionghoa. Selain itu, bangunan yang saat ini menjadi toko dari Batik Keris ternyata dahulunya difungsikan sebagai kantor pada hari kerja dan sebagai tempat dansa pada akhir pekan. Sebelum akhirnya dialih fungsikan seperti saat ini, dahulu bangunan ini telah terbengkalai selama kurang lebih lima puluh tahun dan sempat menjadi rumah bagi ratusan ribu kelelawar. Akibat terbengkalai itu, rumah cantik ini dipenuhi dengan kotoran kelelawar, bahkan rumah ini sempat dijuluki sebagai Omah Lowo (Rumah Kelelawar). Butuh sekitar satu setengah tahun pemolesan dan pembersihan untuk dapat melihat wujud asli rumah klasik cantik ini yang sekarang dinobatkan sebagai bangunan cagar budaya. Guide yang saat itu menemani saya menyusuri bangunan cagar budaya yang cantik ini juga sempat memperlihatkan saya bagaimana bentuk rumah ini di masa lalu melaui foto-foto bersejarah. Hingga saat ini, saya masih merasa terpana dengan arsitektur rumah tersebut yang bergaya klasik Eropa dan taman indah yang mengelilingi rumah cantik tersebut.
Sebelum akhirnya menyudahi perjalanan penuh sejarah yang sudah saya lalui di Kota Surakarta ini, saya mengunjungi tempat terakhir yang menjadi kebanggan warga Surakarta, yaitu Pura Mangkunegaraan. Serupa dengan dua cagar budaya yang saya kunjungi, pada kunjungan saya ke Pura Mangkunegaraan ini saya juga dibersamai dengan guide yang menuntun langkah saya di tempat yang begitu sakral ini. Saat menginjakkan kaki pada halaman Pura Mangkunegaraan, saya disambut dengan air mancur yang berada tepat di depan pelataran Pura Mangkunegaraan. Untuk dapat menginjakkan kaki pada pelataran, setiap pengunjung perlu untuk melepaskan alas kaki mereka pada pelataran yang menjadi saksi bisu setiap acara sakral yang diadakan pada Pura Mangkunegaraan ini. Ornamen serta arsitektur terlihat begitu megah meskipun masih terdapat kesan tradisional pada bangunan Pura Mangkunegaraan. Begitu menjelajahi lebih dalam dari area Pura Mangkunegaraan, saya disambut dengan taman yang begitu sejuk dan rumah-rumah yang hingga saat ini masih menjadi tempat tinggal dari keluarga Mangkunegaraan. Koleksi-koleksi yang menceritakan sejarah tempat yang begitu bersejarah bagi Indonesia ini tertata dengan sangat rapi. Meskipun setiap sudutnya masih terasa tradisional, namun tetap memberikan kesan menawan dan megah saat diabadikan menggunakan kamera ponsel.
Kota yang penuh sejarah dan kebudayaannya di setiap sudutnya ini, memang tidak dapat dijelajahi hanya dalam satu hari saja. Namun, apabila ingin mengunjungi tempat bersejarah di Surakarta dalam waktu yang terbatas, destinasi tiga cagar budaya yang saya kunjungi tersebut dapat dijadikan referensi yang tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H