Anggaran Bansos naik signifikan jelang Pemilu 2024. Alokasi anggaran perlindungan sosial untuk 2024 mencapai Rp 496,8 triliun. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibandingkan anggaran 2023 yang sebesar Rp 433 triliun. Bahkan tetap lebih tinggi jika dibandingkan pada masa pandemi Covid-19, yaitu Rp 468,2 triliun (2021) dan Rp 460,6 triliun (2022) (bbc 30/01/2024).
Meningkatnya jumlah anggaran Bansos menjelang Pemilu 2024 tidak bisa dipungkiri menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Melihat fakta bahwa Presiden Joko Widodo merupakan ayah dari salah satu cawapres yang akan berkompetisi dalam Pemilu 2024. Kecurigaan tersebut disanggah oleh Presiden. Beliau menyatakan bahwa anggaran bansos telah melalui mekanisme persetujuan DPR (detik 02/02/2024).
Meski menampik tuduhan, fakta yang terlihat di lapangan menunjukan hal sebaliknya. Presiden banyak melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk menyerahkan langsung bansos kepada masyarakat tanpa didampingi Menteri Sosial. Dalam sebuah perjalanan pembagian bansos, Ibu Iriana Jokowi mengacungkan dua jari dari dalam mobil. Hal ini tentu mudah dipahami sebagai isyarat merujuk pada nomor urut 02, yaitu nomor urut Cawapres putra Presiden. Demikian hal nya dengan Para Menteri yang masih menjabat, yang juga merupakan petinggi-petinggi Parpol Koalisi yang mengusung pasangan Capres-Cawapres 02. Para Politisi tersebut menyatakan bahwa Bansos berasal dari Presiden, maka masyarakat harus 'berterima kasih' kepada Presiden. Atas tindakan Presiden dan Kelompok pendukungnya ini, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) melayangkan tegurannya, agar Presiden tetap berada dalam koridor yang semestinya.
Memerah Suara Rakyat
Masyarakat sebetulnya sudah menyadari betul fenomena politik uang. Hal ini biasa terjadi ketika calon kontestan Pemilu berusaha untuk membeli suara yang mereka miliki. 'Ambil Uangnya, Jangan Pilih Orangnya'. Demikianlah narasi yang hadir di kalangan masyarakat untuk menghadapi 'serangan Fajar' dari kontestan Pemilu. Namun ketika bansos dipolitisasi oleh penguasa, tidak banyak yang menyadari hal tersebut. Karena memang sudah semestinya negara hadir membantu rakyatnya. Timbul kesan bahwa Penguasa telah melakukan hal yang terbaik bagi rakyatnya atas gelontoran dana bansos yang diberikan pada rakyat.
Rakyat yang berada dalam garis kemiskinan, memang sudah selayaknya mendapatkan bantuan dari negara. Kebutuhan akan pangan yang murah, lapangan pekerjaan, pendidikan, hingga Kesehatan menjadi hak dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara. Sayangnya, para penguasa yang duduk di kursi kekuasaan hanya memandang hal ini sebagai ajang untuk memerah suara rakyat. Rakyat diberikan bansos untuk kemudian diperah suaranya.
Jika sungguh ingin membantu rakyat miskin keluar dari garis kemiskinan, maka upaya yang dilakukan negara tak cukup dengan memberikan bansos. Dibutuhkan Solusi yang komprehensif untuk mengentaskan kemiskinan. Saat ini, kemiskinan seolah dipelihara. Untuk dimanfaatkan suaranya pada moment-moment lima tahunan. Kesadaran politik masyarakat yang rendah, rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang menimpa menjadikan masyarakat berpikir pragmatis, sehingga mudah dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
Demikianlah Demokrasi kapitalisme telah diterapkan dalam sistem pemerintahan saat ini. Bantuan sosial yang menjadi hak rakyat telah digunakan untuk alat transaksi politik untuk menaikkan elektabilitas kontestan Pemilu. Tidak hanya politisasi bansos, hal yang lebih buruk sangat mungkin terjadi dalam sistem ini. Segala cara bisa ditempuh untuk bisa sampai pada kursi kekuasaan. Tidak ada standar perbuatan halal-haram dari Sang Pencipta, karena asas demokrasi memanglah demikian, memisahkan agama dari kehidupan termasuk bernegara.
Sementara ketika kekuasaan diraih, kekuasaan tidak pernah sungguh-sungguh dipergunakan untuk mengurusi kepentingan rakyat. Kekuasaan digunakan untuk mengakomodir kepentingan oligarki yang telah memberikan ongkos kepada mereka untuk sampai pada kursi kekuasaan. Demikianlah watak demokrasi kapitalisme yang tidak pernah bisa berubah siapa pun aktornya.
Kekuasaan dalam Islam