Matanya gelisah. Tangannya tidak diam. Dadanya mulai terlihat turun naik. Desiran sungai venanya sepertinya meluncur cepat hingga ke ubun-ubun. Kaki perempuan itu hilir mudik tak tentu arah. Ia mulai berteriak-teriak melemparkan kata. Suaranya tinggi menyeruak langit. Wajahnya merah diselimuti api yang membara dari dadanya. Matanya tajam berkilat.
Dalam sekejap, tingkahnya menciptakan keramaian di tempat itu. Orang-orang mulai berdatangan mengerubunginya seperti melihat pertunjukan topeng monyet di jalanan.
“Gustiiiiiii!”
Beberapa orang memegang tangan perempuan itu. “Tenang, Bu…!”
Perempuan itu berteriak. Ia meronta.Tangannya mencabik-cabik angin. Menarik-narik pakaiannya. Ia tak peduli pada wajah-wajah dengan suara sumbang yang mengelilinginya. Ia hanya ingin meluapkan dada buminya yang bergolak. Menumpahkan amarahnya yang membadai. Biar semesta tahu, “aku terluka!”
“Sabar, bu… Istighfar…”
Perempuan itu masih meraung. Air matanya sudah habis. Kering. Ia berguling-guling di lantai. Kakinya kini meronta. Histeris. Tak peduli walau harus jadi tontonan.
“Gustiiiii!..... Bapaaaaaaak…..!”
Ia menangis. Marah. Kesal. Ah, entah apalagi…
“Dia kenapa? gila?”
Tidak
“Jangan-jangan….. kerasukan?”
Bukan!”
“lalu?”
Dia kehilangan.
“Apa???”
Uang 30 juta untuk cuci darah suaminya, dicuri orang
Aku ditampar angin.
# @ Hospital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H