Lihat ke Halaman Asli

Tuan Putri dalam Cerita

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1346427160481444691

“Tuan Putri…, Paman matahari sudah datang tuuh…!”

Anak 5 tahun itu menggeliat lalu berlari menuju taman di depan istananya.“Selamat pagi paman matahariii…” teriak anak itu sambil memperlihatkan barisan giginya yang tak rapi pada langit. Dia tak peduli dengan pakaian juga rambutnya yang masih berantakan. Ah, dasar anak-anak, sepertinya memang tak pernah peduli dengan penampilan.

“Cuci dulu mukamu, sana… !“

“Mmh!” anak itu mengangguk lalu berlari menyentuh air kemudian duduk di samping laki-laki kurus. Menikmati roti coklat, sebuah sarapan pagi.

“Hari ini, ayah akan membawa kejutan buatmu!”

Mata anak itu berubah kejora.

“Semangat!” mereka mengepalkan tangan lalu tersenyum. Lagi-lagi anak itu memperlihatkan barisan giginya yang tak rapi.

Punggung laki-laki itu menjauh ditemani harapan sang putri.

***

Detik berganti menit dan berubah jam. Matahari mulai meninggi.

Detik kembali berganti menit dan berubah jam. Matahari mulai menguap.

“Aku ngantuk, Tuan Putri…” kata matahari kemudian tertidur. Sementara sang putri, ia masih berdiri di taman, menatap bayangan yang kian mendekat tergesa.

“Maaf, ayah terlambat!”

Sang Putri masih cemberut.

“Hei, lihat ini!”

Ah, ternyata tidak sulit mengukir lengkung pelangi di wajahnya yang mungil. Laki-laki itu hanya tersenyum melihat mulut sang putri yang penuh dengan remah ayam goreng krispi ditemani angin yang kian dingin.

“Cepat masuk, sana. Tidur…!“

Sang putri lelap dalam istananya. Diselimuti purnama juga lautan bintang yang memenuhi angkasa malam kala itu.

Semakin larut. Malam kian bergulir berganti hari. Bintang juga rembulan itu kini mulai bersembunyi melihat matahari yang sudah tersenyum kembali di ujung timur. Cepat sekali matahari terbangun.

“Tuan Putri, paman matahari sudah datang tuuh…!”

Senyap. Laki-laki itu hanya mendengar angin yang berbisik.

“Hei Tuan Putri, ayo banguun…!”

Masih senyap.

“Putriku!”

Lirih. Mata laki-laki itu basah melihat putri kecilnya menggigil. Meringkuk di dalam istana mungilnya; sebuah gerobak sampah di depan taman kota.

[caption id="attachment_209824" align="aligncenter" width="500" caption="gambar : arsetega.wordpress.com"][/caption]

-Teita Futsufeita-

#Terinspirasi dari pemandangan pagi yang sering saya lihat dari balik jendela bis semasa kuliah. Salah satu potret buram.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline