Narkoba adalah zat yang memiliki efek samping berupa penurunan kesadaran untuk menghilangkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan ketergantungan bagi penggunanya. Ketergantungan ini dapat membahayakan jika dikonsumsi dalam jumlah berlebihan. Peredaran narkoba sendiri terus berkembang seiring waktu, dengan peningkatan yang cukup signifikan, mencatatkan 225.000.000 pengguna antara 2016 hingga 2018.
Meskipun upaya pemberantasan peredaran narkoba telah dilakukan oleh berbagai pihak, kenyataannya angka peredaran narkoba terus meningkat dari waktu ke waktu. Dalam rentang waktu 2016 hingga 2018, jumlah pengguna narkoba global tercatat melonjak hingga mencapai 225 juta orang, sebuah angka yang sangat signifikan dan mencerminkan betapa besar tantangan yang dihadapi dalam memerangi perdagangan narkoba. Hal ini menjadi perhatian besar di banyak negara, termasuk Filipina, yang pada saat itu tengah menghadapi krisis narkoba yang semakin memburuk. Dalam konteks ini, perang narkoba yang digagas oleh Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, pada awal masa jabatannya menjadi salah satu kebijakan yang paling kontroversial dan menarik perhatian internasional.
Perang narkoba di bawah kepemimpinan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, menjadi salah satu kebijakan yang paling kontroversial dan mendapat perhatian internasional sejak ia dilantik pada Juni 2016. Kebijakan ini bertujuan untuk memberantas peredaran dan penggunaan narkoba yang dianggap telah merusak masyarakat Filipina, tetapi di sisi lain juga memicu kritik keras karena metode yang digunakan, terutama dalam hal pelanggaran hak asasi manusia. Kebijakan ini dilaporkan telah menyebabkan lebih dari 5000 tersangka tewas dalam baku tembak dan penggerebekan terkait narkoba. Akibatnya, Filipina mengalami krisis kemanusiaan, karena Presiden Duterte terus melanjutkan aksi pembunuhan dengan alasan "Perang Melawan Narkoba."
Ketika Rodrigo Duterte terpilih menjadi presiden Filipina pada tahun 2016, ia membawa janji untuk menanggulangi masalah narkoba yang telah menjadi salah satu tantangan terbesar negara tersebut. Duterte menyatakan bahwa peredaran narkoba, terutama methamphetamine, telah merusak kehidupan banyak orang Filipina, menyebabkan kekerasan, dan menghancurkan keluarga. Ia menyebutkan bahwa sejumlah besar penduduk, termasuk anak-anak, terjerat dalam jaringan peredaran narkoba.
Duterte menekankan bahwa permasalahan narkoba ini juga terkait dengan jaringan kejahatan terorganisir dan korupsi dalam aparat penegak hukum. Oleh karena itu, ia bertekad untuk menghentikan peredaran narkoba dengan cara yang lebih tegas dan cepat. Pada awal masa pemerintahannya, Duterte mengumumkan perang terbuka terhadap narkoba, dengan tujuan untuk membasmi sindikat narkoba dan menghentikan kebiasaan penggunaannya di masyarakat.
Perang narkoba Duterte dimulai dengan kampanye keras yang melibatkan aparat kepolisian dan militer Filipina. Pada bulan Juli 2016, hanya beberapa minggu setelah pelantikannya, Duterte memberikan perintah langsung kepada kepolisian untuk mulai menjalankan operasi pembersihan terhadap pengedar narkoba, produsen, dan pengguna narkoba. Operasi ini dilakukan dengan cara yang sangat agresif, termasuk penangkapan, penggerebekan, dan dalam banyak kasus, pembunuhan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam peredaran narkoba.
Duterte memberi dukungan moral kepada para polisi yang melakukan tindakan tegas dan bahkan mendorong mereka untuk menembak mati para pengedar narkoba yang melawan. Dalam pidatonya, ia sering kali mengungkapkan bahwa ia lebih memilih untuk "memotong" masalah ini dengan cara yang ekstrem, bahkan jika itu berarti melanggar aturan hukum internasional.
Dengan demikian, eksekusi hukuman mati melalui tembak mati tanpa melalui proses peradilan jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Bahkan, seseorang yang dijatuhi hukuman mati masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengampunan atau pengurangan hukuman, serta mendapatkan amnesti sesuai dengan Pasal 6 Ayat (4) ICCPR.
Pada bulan September 2016, Duterte menyatakan bahwa sekitar 600.000 orang pengguna dan pengedar narkoba telah menyerahkan diri setelah mendengar ancamannya. Namun, angka ini masih jauh dari targetnya, dan perang narkoba terus meluas. Banyak orang yang diduga terlibat dalam narkoba, baik pengedar maupun pengguna, menjadi sasaran pembunuhan.
Salah satu aspek paling kontroversial dari perang narkoba Duterte adalah tingginya jumlah korban jiwa. Menurut laporan dari kelompok hak asasi manusia, lebih dari 20.000 orang telah tewas dalam operasi yang terkait dengan narkoba hingga tahun 2020. Beberapa laporan menyebutkan bahwa banyak dari korban tewas ini adalah warga sipil yang tidak terlibat langsung dengan narkoba, tetapi terbunuh dalam operasi yang diduga dilakukan dengan cara kekerasan dan tanpa proses hukum yang adil.